Oleh Christian Heru Cahyo Saputro, Jurnalis penyuka seni tradisi tinggal di Semarang
Di bawah langit Kota Semarang yang berpendar antara lampu jalan dan gemerlap kafe, ada seorang pria yang menolak biarkan bayang-bayang tradisi pupus ditelan zaman. Budi Lee — nama yang di antara para penggiat seni lokal kerap disebut sebagai penjaga api wayang orang — berjalan di antara dua dunia: panggung dan birokrasi; nostalgia dan pembaruan; pagelaran malam dan rapat program di kantor Disporapar Jawa Tengah. Dari persilangan itulah muncul energi yang membuat wayang orang kembali bernapas, bergaung, dan merasuk ke hati generasi muda.
Seorang sutradara sekaligus penata artistik, Budi bukan sekadar pengulang pakem. Ia merajut klasik dengan sentuhan kontemporer, menyulap lakon-lakon epik menjadi cerita yang relevan bagi penonton masa kini. Dalam pementasan “Wayang On The Street” di Oudetrap Theater, Kota Lama, misalnya, ia menempatkan kisah-kisah Pandawa bukan sebagai museum teater, melainkan panggung hidup yang memantulkan keresahan dan harapan publik.
Lakon “Sang Bima” tak hanya menonjolkan kepahlawanan; lewat koreografi, suara, dan tata panggung, Budi menegaskan nilai-nilai kesabaran, keikhlasan, dan kemenangan kebenaran atas kezaliman — pesan yang menurutnya adalah kompas moral bagi masyarakat saat ini.
Ada ritual sebelum panggung menyala: reuni latihan, pewayangan yang mengembus napas cerita, latihan vokal, dan dialog panjang tentang bagaimana menjadikan wayang orang relevan tanpa mengkhianati akar-akar tradisi.
Di situ tampak sisi Budi yang paling lembut dan paling tegas. Ia membuka ruang bagi kaum muda untuk belajar — bukan sekadar meniru gerak, tapi memahami filosofi di balik setiap wicara, gestur, dan kostum.
Kolaborasinya dengan sanggar-sanggar seperti Ngesti Pandowo dan komunitasnya sendiri, Tirang Community, bukan hanya soal rekrutmen pemain muda; melainkan usaha systemik menciptakan regenerasi estetik dan sosial, agar wayang orang tidak hanya menjadi tontonan nostalgia, melainkan medium komunikasi generasi-ke-generasi.
Dualitas peran Budi sebagai aparatur sipil negara di Disporapar Jawa Tengah memberinya akses dan pengaruh strategis. Ia memanfaatkan posisi itu untuk mendorong program berbasis seni yang berkelanjutan—menghubungkan kebijakan pariwisata dengan kebutuhan pelaku budaya di lapangan.
Dalam bahasa Budi, birokrasi dan seni seharusnya berpegangan tangan: pemerintahan memberi ruang dan dukungan, sementara seniman menghidupkan ruang itu dengan makna.
Dari sinilah muncul inisiatif-inisiatif kreatif yang mengajak publik luas menyaksikan wayang orang di ruang-ruang tak terduga — jalan tua, halaman gereja, alun-alun kota — memecah kebiasaan menonton di gedung formal.
Ruang pentas yang dipilih Budi seringkali bercerita sendiri: jalan-jalan Kota Lama, panggung Oudetrap Theater, Seklahn, Kampus, Lapangan Simpang Lima, Lahan Parkir dan Gereja Gedangan di Sayangan, menjadi latar bagi pementasan yang mendekatkan cerita-cerita Mahabharata dengan keseharian warga.
Untuk Festival Kota Lama ke-14 tahun 2025, ia kembali memahat panggungan baru: “Wayang On The Street” dengan lakon “Sang Pinilih” di panggung FKL, depan Gedung Yayasan Kanisius (GYK) Sayangan, Kota Lama, Semarang, Minggu (14/9/2025).
Pilihan lakon ini bukan kebetulan. Satria Pinilih, dengan nuansa kepahlawanan dan pilihan moral, menjadi medium bagi Budi untuk mengajak penonton merenung lagi: apa yang dipilih hari ini akan menata arah kolektif esok.
Jika panggung adalah langit kecil, maka Budi adalah penjaga cahaya. Ia menyalakan api tradisi dengan cara-cara yang kadang berkilau seperti komet: tata cahaya modern yang menyorot detail kostum, musik kontemporer yang menyambung napas gamelan, hingga dialog yang disusun agar bahasa kuno bisa hadir dalam tutur masa kini. Namun ia juga tahu kapan harus mundur, memberi ruang bagi pakem untuk bicara sendiri — karena kekuatan wayang orang sebagian besar terletak pada ritme tradisi itu sendiri. Keseimbangan antara pelestarian dan inovasi inilah yang menjadi tanda tangannya.
Bagi generasi muda yang ia ajak, Budi bukan sekadar guru; ia adalah pintu ke ruang-ruang tradisi yang sebelumnya terasa tertutup. Ia mengajarkan bahwa menjadi pewayangan bukan sekadar menghafal adegan, melainkan memahami nilai-nilai yang tertanam di balik cerita: keadilan, keberanian, pengorbanan, dan keikhlasan. Di tangan Budi, wayang menjadi alat pendidikan karakter, bukan hanya hiburan estetis. Dan di tengah arus digital yang menggempur segala bentuk seni, pendekatan ini memantik minat baru: anak-anak muda yang datang bukan karena kewajiban, tapi karena menemukan suara mereka sendiri lewat tokoh-tokoh epik.
Cerita tentang Budi Lee adalah cerita tentang api yang tak mau padam. Ia tak hanya menjaga warisan benda, melainkan menyalakan kembali percakapan kolektif tentang identitas, moral, dan estetika.
Di bawah sinar bulan dan lampu kota, wayang orang yang ia sutradarai berkedip-kedip seperti gugusan bintang yang tak pernah sama; setiap pementasan adalah konstelasi baru yang menghubungkan masa lalu dan masa depan.
Untuk pembaca majalah budaya: datanglah menyaksikan ketika “Satria Pinilih” menapaki panggung Kota Lama. Perhatikan bagaimana lakon itu tak sekadar mempersembahkan cerita lama, melainkan mengundang kita menimbang pilihan hidup dan bersama-sama menjaga nyala api tradisi. Di antara gemuruh modernitas, Budi Lee berdiri, tegap—sebuah mercusuar kecil yang menuntun wayang orang untuk terus bersinar, hangat, dan bermakna bagi kota yang ia cintai. (*)




