Oleh Christian Heru Cahyo Saputro, Jurnalis penyuka musik tinggal di Semarang
Hujan mengguyur deras Semarang pada Selasa malam, 9 September 2025. Namun di dalam Gereja Blenduk—bangunan ikonik yang telah ratusan tahun berdiri kokoh di jantung Kota Lama—kehangatan merambat, menjelma harmoni. Di bawah kubah megah berlapis tembaga itu, Kota Lama Orchestra di bawah koordinator menghadirkan sebuah konser yang bukan hanya pertunjukan musik, melainkan sebuah perayaan kebersamaan.
Setelah tampil memukau dalam pembukaan Festival Kota Lama ke-14 di Laroka Theater sehari sebelumnya, kali ini Kota Lama Orchestra tampil lebih intim, lebih dekat dengan hati. Nada-nada yang melayang di udara seolah memantul pada dinding sejarah, menyatu dengan aroma kayu tua dan gema doa yang pernah bersemayam di rumah ibadah itu. Para penonton terhanyut dalam repertoar yang digarap penuh cinta. Waktu pun terasa mengalir tanpa disadari; di luar hujan menderas, sementara di dalam tercipta pelukan hangat musik lintas bangsa.
Konduktor Johnny Rahaket, musisi senior dari Belanda, memimpin dengan energi yang hidup, membuat jarak antara panggung dan penonton nyaris tiada. Inilah wujud nyata tema Festival Kota Lama tahun ini: The Colour of Unity. Tidak hanya sekadar semboyan, melainkan pengalaman kolektif yang dirasakan malam itu.
Yang membuat momen semakin berharga, medali penghargaan diberikan kepada para musisi Belanda yang mendukung konser ini. Penghargaan diserahkan oleh Founder FKL Yenni, Ketua Panitia Agus Suryono, Prof. Hardhono Susanto, dan drg. Grace Widjaya—sebuah simbol persahabatan lintas negara yang terjalin lewat bahasa universal: musik.
Namun Kota Lama Orchestra bukanlah orkestra biasa. Ia lahir dari kerinduan panjang: sebuah kebutuhan akan orkestra yang berakar di Semarang sendiri, dengan Kota Lama sebagai ikon kebanggaan. Para pelajar musik, guru, hingga musisi otodidak, semua bergabung, menanggalkan identitas masing-masing demi satu panji: bendera Semarang. Di sinilah orkestra ini menemukan jiwa—sebagai ruang persatuan, bukan sekadar wadah bermusik.
Dedikasi Johnny Rahaket terasa begitu nyata. Demi melatih anak-anak muda Semarang, ia rela meninggalkan rutinitasnya di Belanda dan memilih tinggal sederhana di kota ini. Bukan untuk mencari nama, melainkan untuk menanamkan keyakinan bahwa musik dapat menjadi suluh peradaban. “Mari kita beri tepuk tangan untuk Mr. Johnny,” ujar seorang panitia, dan serentak ruangan menggema oleh apresiasi.
Malam itu, konser bukan sekadar denting nada, tetapi juga dialog halus antara masa lalu dan masa kini. Antara bangunan kolonial yang bisu dengan generasi muda yang berani bersuara. Antara seni musik dan seni fotografi, yang saling melengkapi dalam kolaborasi lintas medium. Dukungan sahabat dari Belanda—Thea van den Heuvel, Floor, Francien, Chris, hingga Antoon—semakin menegaskan bahwa Kota Lama Orchestra adalah gerakan kultural yang menembus batas geografis.
Kehadiran orkestra ini menjadi penanda bahwa Semarang bukan hanya menyimpan sejarah, tetapi juga menciptakan masa depan. Dan di bawah cahaya lampu hangat Gereja Blenduk, setiap nada yang dimainkan terasa seperti doa: agar harmoni terus terjaga, agar musik terus hidup, dan agar Kota Lama tetap menjadi panggung peradaban yang bernyawa. (*)




