Semarang — Suasana Minggu Malambdi Kota Lama Semarang berubah menjadi ruang magis ketika lakon *Sang Pinilih dipentaskan dalam gelaran Wayang Orang on The Street (WOTS), Minggu, 14 September 2025. Pertunjukan ini menjadi salah satu sajian unggulan dalam rangkaian Festival Kota Lama (FKL) ke-14 digelar tepat di panggung terbuka depan Gedung Yayasan Kanisius, Sayangan.
Fragmen Langka, Simbol Perlawanan
Disutradarai oleh Budi Lee, lakon “Sang Pinilih” membawa penonton menyelami fragmen langka dari kisah epik Bharatayudha. Di tengah situasi genting menjelang perang besar, para Pandawa dihadapkan pada dilema memilih panglima medan laga. Dalam perdebatan panjang, muncul pilihan tak terduga—Srikandi, perempuan kesatria, terpilih sebagai Senopati.
Dalam balutan tari, tembang, dan dramatika panggung, Srikandi tampil bukan hanya sebagai prajurit, tapi simbol keberanian, suara keadilan, dan kekuatan dari mereka yang kerap terpinggirkan dalam sejarah yang maskulin.
Artistik Jalanan, Magnet Budaya
WOTS kali ini memadukan seni tradisi dengan estetika kontemporer. Penampilan para aktor di ruang publik tanpa sekat menjadikan wayang orang terasa hidup, relevan, dan menyentuh. Ratusan penonton dari berbagai usia larut dalam pertunjukan yang menyatu dengan suasana malam, lampu kota, dan deru sejarah di kawasan kolonial Kota Lama.
Menambah kemeriahan, Wali Kota Semarang, Dr. Agustina Wilujeng Pramestuti, turut tampil sebagai Sang Hyang Wenang, tokoh mistik penjaga semesta. Kehadirannya menjadi penegas bahwa panggung budaya adalah milik bersama—ruang di mana pemimpin dan rakyat dapat berdialog dalam bahasa seni.
Jejak Lintas Benua
Kehadiran Arnaud Kokosky Deforchaux, seniman dan kurator budaya asal Belanda, menjadi warna istimewa. Arnaud, yang telah lama menggeluti tari Bali dan Jawa, tampil dalam balutan tradisi yang ia pelajari dengan cinta. Geraknya bukan sekadar estetika, tapi tafsir akan spiritualitas dan kedalaman budaya Nusantara.
Tak hanya menari, Arnaud juga dikenal aktif dalam memperkenalkan budaya Indonesia ke Eropa lewat Festival Tong Tong dan diskusi lintas sejarah kolonial.
Lebih dari Sekadar Pertunjukan
“Sang Pinilih” tidak hanya menyentuh ranah hiburan, melainkan membuka ruang refleksi. Tentang siapa yang layak dipilih. Tentang keberanian mengambil sikap di tengah dunia yang terus berubah. Tentang bagaimana tradisi bisa menjadi obor dalam zaman yang gelap.
Di malam itu, WOTS menjadi panggung perjumpaan nilai, sejarah, dan harapan. Dan “Sang Pinilih”—dengan segala simbolismenya—menjadi pengingat bahwa keadilan dan kebijaksanaan adalah sesuatu yang selalu layak diperjuangkan. (Christian Saputro)




