Oleh Christian Heru Cahyo Saputro, Redaktur Budaya’ Sumatera Post tinggal di Tembalang Semarang.
Di antara riuh tepuk tangan dan sorot lampu malam yang jatuh di pelataran Kota Lama Semarang, terselip satu momen yang melampaui sekadar pertunjukan. Agustina Wilujeng Pramestuti, Walikota Semarang, berdiri di tengah panggung Wayang On The Street (WOTS) — bukan sebagai kepala daerah semata, tapi sebagai Sang Hyang Wenang, tokoh ilahiah dalam lakon “Sang Pinilih”.
Ia datang bukan sekadar menyapa, tetapi menyuarakan janji: bahwa wayang orang harus hidup kembali, bukan sebagai nostalgia, tapi sebagai nafas baru kota ini.
Panggung Rakyat, Gema Komitmen
Minggu sore, 14 September 2025, kawasan Kota Lama yang bersejarah itu berubah menjadi ruang pertemuan lintas zaman. WOTS bukan pentas eksklusif yang terselubung gorden tebal dan undangan VVIP. Ia hadir di jalanan — panggung rakyat— tempat seni menyatu dengan debu, anak-anak kecil, pedagang kaki lima, dan para budayawan.
Di situlah, Agustina mengumumkan niat Pemerintah Kota untuk membantu sanggar-sanggar wayang orang dengan perangkat kostum dan pendanaan. Ia bicara sederhana, tanpa formalitas berlebih, tetapi nadanya tulus: Wayang orang kudu gampang ditemui. Ora mung kanggo tamu manca, tapi uga kanggo bocah-bocah Semarang dhewe.”
Wayang, Internasionalisme, dan Akar
Yang membuat malam itu kian bermakna adalah kehadiran Arnaud Kokosky Deforchaux, seniman tari asal Belanda. Ia tidak datang sebagai tamu eksotik, melainkan sebagai mitra kolaborasi—tanda bahwa tradisi Jawa bisa bersua dunia tanpa kehilangan akar.
Agustina dengan jujur mengakui bahwa dirinya masih belajar memahami bahasa Jawa. Tapi di situlah pesannya menyentuh: pelestarian budaya bukan soal sempurna, tapi soal mau belajar bersama. Dalam pengakuannya, kita melihat pemimpin yang tidak menara gading, melainkan ibu kota dalam arti harfiah: pemelihara rumah bersama.
Seni yang Tidak Sekadar Tontonan
Dukungan anggaran pun ditegaskan. Tak hanya dalam bentuk janji, tetapi dalam strategi: menjadikan seni budaya sebagai bagian integral dari program pariwisata, pendidikan karakter, dan ekonomi kreatif kota.
Wayang orang, yang selama ini sering disebut “senja”, kini mendapat pelita. Dan bukan pelita museum, tapi cahaya hidup yang diharapkan bisa menyala di alun-alun, sekolah, panggung komunitas — tempat-tempat di mana generasi baru bisa mengenalnya kembali, bukan karena diwajibkan, tapi karena terpesona.
Antara Harapan dan Kenyataan
Ketika lakon “Sang Pinilih” berakhir, panggung meredup, dan sorak sorai perlahan mereda, masih terngiang dialog yang tak tertulis: bahwa kebangkitan seni tradisi bukan tugas masa lalu, melainkan cita-cita masa kini. Dan Semarang, lewat dukungan pemimpinnya, sedang mencoba meretas jalan itu.
Wayang orang tidak mati. Ia hanya menunggu dipilih kembali.
Dan malam itu, di jantung Kota Lama, ia kembali dipanggil — bukan dengan keluh, tapi dengan cinta.(*)




