Oleh Christian Heru Cahyo Saputro, Jurnalis redaktur budaya SKH Sumatera Pos tinggal di Tembalang, Semarang.
Di balik riuh tepuk tangan penonton dan megahnya pentas budaya di Kota Lama Semarang, terdapat satu nama yang bekerja dalam senyap, namun menjadi poros yang memutar seluruh roda peristiwa: Krisna Priyastika. Ia bukan aktor utama di panggung, bukan pula tokoh dalam naskah—namun tanpanya, lakon tak akan hidup, alur tak akan mengalir.
Sebagai Stage Manager Pagelaran Wayang On The Street (WOTS) dan Manajer Pengelola Klub Merby, Krisna adalah penjaga harmoni di balik tirai. Ia menyatukan para penari, pemain, penata cahaya, pembaca puisi, hingga tokoh publik dalam satu irama yang bulat.
Dalam lakon “Sang Pinilih” yang ditampilkan di FKL ke-24, ia tidak hanya mengatur panggung, tetapi “merajut peristiwa kebudayaan”—menghidupkan mitologi dalam denyut kota.
Panggung sebagai Ruang Hidup
Bagi Krisna, panggung bukan sekadar arena tampil, tapi ruang hidup bersama. Dalam pagelaran “Sang Pinilih”, ia berhasil menata puluhan elemen seni: dari Reog, cosplay, flashmob, hingga tarian lintas generasi. Di antara kabut lampu dan suara gamelan, ia mengarahkan tokoh seperti Walikota Semarang Agustina Wilujeng Pramestuti yang berperan sebagai Sang Hyang Wenang, hingga seniman asal Belanda, Arnaud Kokosky.
Ia bukan hanya manajer, tapi penjaga tempo jiwa. Setiap pemain ia perlakukan bukan sekadar pengisi acara, melainkan bagian dari orkestrasi makna.
Merby dan Misi Kultural
Melalui Klub Merby, Krisna tidak berhenti pada satu pertunjukan. Ia memupuk regenerasi. Terlibat mendampingi finalis Denok Kenang 2025, bergiat bersama Kota Lama Orchestra, dan memfasilitasi banyak ruang ekspresi bagi seniman muda. Ia menjadi jembatan antara generasi, antara tradisi dan kemungkinan baru.
Seni sebagai Manajemen Jiwa
Keterampilan manajemen Krisna bukan sekadar teknis. Ia paham bahwa mengelola seni adalah mengelola emosi, ego, dan harapan. Dalam setiap rapat produksi, ia menyalakan semangat; dalam setiap gladi resik, ia menata keheningan agar bisa meledak menjadi kekaguman di hari H.
Krisna Priyastika bukan nama yang selalu tampil di poster, tapi ia adalah “roh panggung”—yang menghidupkan seni agar tetap tumbuh, bertumbuh, dan menyentuh.
Dan di Semarang, kota yang perlahan belajar mencintai akarnya kembali, Krisna menjadi satu dari sedikit orang yang tak sekadar bekerja untuk seni, tapi mengabdikan hidup untuk menjadikannya nadi kota.
Dari Klub Meby ke Panggung Ngesti Pandowo
Di tengah kesibukannya mengelola Klub Meby, Krisna Priyastika masih menyisihkan energi untuk sebuah proyek budaya unik: Wayang On The Street. Program ini memperkenalkan wayang dalam format yang lebih dekat dengan publik kota—bukan di panggung pakeliran konvensional, melainkan di ruang-ruang publik, jalanan, hingga titik-titik komunitas.
Gaya kerja Krisna yang lugas dan luwes menarik perhatian banyak pihak. Djoko Mulyono, sosok yang akrab disapa Bos Ngesti Pandowo, melihat potensi besar pada dirinya. Tak hanya piawai mengelola komunitas, Krisna juga cakap membangun jejaring, merawat hubungan dengan media, sekaligus menghadirkan narasi segar tentang seni tradisi.
“Dia ini tipikal orang lapangan yang gesit, sekaligus punya rasa pada seni,” tutur Djoko. Atas dasar itu, Krisna pun dipercaya untuk mengemban peran baru sebagai Humas Ngesti Pandowo—kelompok wayang orang legendaris yang sudah menjadi ikon budaya Semarang.
Dengan amanah ini, Krisna tak hanya membawa semangat muda ke tubuh Ngesti, tetapi juga harapan bahwa wayang orang bisa kembali menemukan kedekatannya dengan publik urban. Dari Meby ke Wayang On The Street, dan kini ke Ngesti Pandowo, perjalanan Krisna Priyastika tampak seperti rangkaian yang konsisten: menjaga tradisi tetap relevan di tengah zaman yang terus bergerak.(*)




