Oleh Christian Heru Cahyo Saputro, Redaktur Budaya SKH Sumater Post tinggal di Semarang
Di balik terang sorot lampu Gedung Ki Narto Sabdo di TBRS, dan riuh tepuk tangan di jalanan Kota Lama tempat Wayang On The Street dipentaskan, ada satu semangat yang menjadi denyut nadi keberlanjutan Ngesti Pandowo —yakni semangat “Gugur Gunung”. Dan di balik semangat itu, berdiri sosok Djoko Mulyono yang teguh memegang obor pelestarian budaya.
Sebagai Ketua Pekumpulan Wayang Orang “Ngesti Pandowo”, Djoko percaya: kesuksesan seni tradisi tidak bisa dikerjakan sendiri. Ia bukan panggung tunggal. Ia adalah hasil kerja kolektif, kolaboratif, dan inklusif. Maka dari itu, ia membuka pintu selebar-lebarnya untuk kerja sama lintas komunitas, mulai dari pegiat teater, seniman jalanan, hingga lembaga pendidikan dan tokoh masyarakat.
Dari panggung klasik gedung pertunjukan hingga ruang publik seperti festival dan trotoar, Djoko terus menggagas transformasi. Ia menyadari bahwa menjaga warisan tak cukup hanya dengan “melestarikan”, tapi juga dengan mendialogkan wayang orang dengan zaman.
Lewat WOTS (Wayang On The Street), Djoko menegaskan bahwa panggung seni bisa lahir di mana saja—asal ada tekad dan semangat kebersamaan. Di sanalah ia mempraktikkan filosofi Jawa “*Gugur Gunung*”: bekerja bersama tanpa pamrih, demi tujuan luhur yang lebih besar.
Lebih dari itu, Djoko juga aktif merangkul generasi muda. Ia menyadari bahwa agar Ngesti Pandowo tetap hidup, ia harus tumbuh dalam imajinasi dan tangan kaum muda. Maka, regenerasi dan inovasi menjadi agenda utamanya: memberi ruang bagi ide-ide baru, mengajak anak muda menari, berkostum, bahkan mengelola pertunjukan.
“Wayang orang tidak boleh menjadi museum,” ujarnya suatu kali. “Ia harus menjadi taman, tempat tumbuhnya gagasan baru yang tetap berakar.”
Dengan kepemimpinan yang terbuka dan kolaboratif, Djoko Mulyono bukan hanya menjaga Ngesti Pandowo tetap eksis. Ia menumbuhkannya, menghidupkan ulang nyawanya, dan menjadikannya bagian dari denyut kota yang terus bergerak.
Harapan
Ketua Ngesti Pandowo, Djoko Moelyono, memiliki harapan besar terhadap kegiatan Wayang on the Street maupun pementasan rutin WO Ngesti di Gedung Ki Narto Sabdo. Menurutnya, kegiatan di jalan ini bisa menjadi cara untuk lebih mendekatkan kesenian wayang orang kepada masyarakat luas, khususnya generasi muda yang mungkin jarang datang langsung ke gedung pertunjukan. Dengan tampil di ruang publik, seni tradisi ini akan lebih hidup, terasa dekat, sekaligus memberi hiburan rakyat yang mudah dijangkau.
Sementara itu, pementasan rutin di Gedung Ki Narto Sabdo tetap dijaga sebagai bentuk konsistensi menjaga tradisi, sekaligus mempertahankan roh dan nilai sejarah Ngesti Pandowo sebagai kelompok seni wayang orang legendaris. Harapannya, kombinasi antara inovasi di ruang publik dan konsistensi di panggung gedung bisa membuat Ngesti Pandowo tetap eksis, berkembang, dan relevan di tengah zaman.
Dengan begitu, Djoko Moelyono ingin agar seni wayang orang tidak hanya dikenang sebagai warisan, tetapi juga terus hidup, dicintai, dan diwariskan kepada generasi berikutnya. (*)




