SEMARANG — Sore itu, matahari pelan-pelan merunduk di balik gedung-gedung kolonial Kota Lama. Udara dipenuhi denting musik, dari nada riang dangdut hingga hentakan EDM yang membakar semangat. Di depan Gedung Oudetrap, lantai batu yang biasanya sunyi mendadak berdenyut bagai nadi kota: ratusan kaki bergerak serempak, menari mengikuti irama, menyulam 50 lagu menjadi satu tarian panjang tanpa putus.
Festival Kota Lama Semarang ke-14 menghadirkan Line Dance & Zumba Festival bertajuk Color of Unity. Dua hari penuh, Jumat dan Sabtu, kawasan heritage itu menjelma panggung terbuka yang berwarna-warni. Kostum peserta memantulkan kilau budaya: kain batik berpadu dengan kebaya, cheongsam, gamis, hingga sentuhan busana Belanda tempo dulu. Dari gerakan yang selaras, lahirlah sebuah lukisan hidup tentang persaudaraan lintas identitas.
“Ini bukan sekadar menari. Ini bahasa persatuan,” tutur Henny Kidawati Djatmiko, salah satu koordinator acara, dengan mata berbinar. Kata-katanya terbukti nyata: setiap langkah bukan hanya gerakan tubuh, melainkan jembatan antarbudaya, antarusia, bahkan antargenerasi.
Lagu demi lagu mengalun tanpa jeda, menyatukan semua orang dalam satu harmoni. Saat musik jazz menggoda, langkah mengalir ringan. Begitu irama dangdut menggema, riuh tepuk tangan menyahut. Dan ketika EDM menghentak, semesta festival seperti bergetar, menyalakan semangat yang tak ingin padam.
Di tengah hiruk-pikuk itu, tersimpan makna yang lebih dalam. Kota Lama, saksi bisu masa lalu kolonial, kini menjadi ruang tempat warga berkumpul tanpa sekat, merayakan perbedaan sebagai kekuatan. Ruang publik yang dulu hanya latar foto wisatawan kini berdenyut dengan interaksi yang hangat, penuh energi kehidupan.
Festival Kota Lama Semarang 2025 bukan sekadar perayaan seni dan olahraga. Ia adalah penanda, bahwa di tengah keberagaman yang kadang terasa rumit, selalu ada cara sederhana untuk saling memahami: bergerak bersama, mengikuti satu irama, dengan hati yang terbuka. (Christian Saputro)