Bandar Lampung — Menjelang peringatan hari lahir ke‑80 PT Kereta Api Indonesia (KAI), festival musik Locomotive Lampung 2025 disiapkan sebagai pesta akbar untuk merayakan sejarah, budaya, dan pemeran utama transportasi darat nasional.
Namun di balik gemerlap panggung dan riuh tepuk tangan, muncul kegundahan: penggunaan lagu Sang Bumi Ruwa Jurai, ciptaan Syaiful Anwar, yang selama bertahun‑tahun digunakan oleh KAI Lampung di stasiun dan area perlintasan kereta tanpa tampak adanya pembayaran royalti atau izin resmi sebagai pemegang performing rights.
Lagu ‘Sang Bumi Ruwa Jurai’: Simbol Persatuan dan Identitas Lampung
Bagus S Pribadi, musisi, yang juga Sekretaris Dewan Kesenian Lampung (DKL) meyatakan lagu daerah ini, yang lirik dan melodinya ditulis oleh Syaiful Anwar, berfungsi sebagai lagu provinsi Lampung dan paduan budaya dua komunitas adat—Saibatin di pesisir dan Pepadun di pedalaman. Judulnya sendiri, “Sang Bumi Ruwa Jurai” menggambarkan keberagaman dalam kesatuan provinsi Lampung.
“Lagu ini sangat populer dan kerap diputar di berbagai tempat publik: stasiun‑kereta, acara resmi dan suasana publik di Lampung, bahkan dinyanyikan di Istana Negara pada Hari Kemerdekaan RI ke‑77,” terang Aviep panggilan karib Bagus S Pribadi.
Performing Rights & Regulasi yang Berlaku
Menurut Aviep secara hukum di Indonesia, setiap penggunaan lagu di ruang publik atau pertunjukan wajib mematuhi ketentuan performing rights. UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta mengatur bahwa pencipta memiliki hak eksklusif untuk mengumumkan ciptaannya — termasuk melalui pertunjukan di ruang publik. Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 kemudian melengkapi ketentuan tentang pengelolaan royalti hak cipta lagu/musik.
Hal ini lanjut Aviep pernah diungkapkan Founder Yayasan Karya Cipta Indonesia (YKCI) Chandra Darusman,pPencipta atau pemegang hak cipta berhak mendapatkan imbalan royalti atas penggunaan lagu dalam bentuk pertunjukan publik.
Pengguna lagu publik komersial, seperti institusi publik atau BUMN, harus membayar hak atas pertunjukan (performing rights) melalui lembaga manajemen kolektif (LMK). “Jika tidak ada izin atau pembayaran, itu bisa dianggap pelanggaran, dengan sanksi sesuai UU.” kutip Aviep.
Tuduhan terhadap KAI: Fakta atau Dugaan?
Menurut informasi Bagus S Pribadi , lagu Sang Bumi Ruwa Jurai telah digunakan oleh KAI Lampung selama kurang lebih lima tahun untuk menyambut kedatangan dan keberangkatan kereta di Stasiun Tanjung Karang, dan sering diputar di area perlintasan kereta. “Jika benar tanpa izin atau tanpa pembayaran royalti kepada pencipta/pemegang hak cipta, maka ini bisa dikategorikan sebagai pelanggaran performing rights,” tandas Aviep.
Namun sejauh ini, lanjut Aviev , belum ada catatan publik yang menyebutkan bahwa pencipta (atau ahli warisnya) telah menyampaikan tuntutan hukum terhadap penggunaan ini, atau bahwa KAI telah membayar royalti tersebut.
Introspeksi dalam Momen Festival
Lebih lanjut, Aviep mengatakan, moment Locomotive Lampung 2025 seharusnya menjadi peluang emas bagi KAI untuk menunjukkan bahwa perusahaan BUMN tidak sekadar merayakan sejarahnya, namun juga menjunjung keadilan hak cipta. “Apalagi dengan publik yang semakin sadar akan tema keadilan intelektual, penggunaan lagu simbolik ini tanpa penghormatan yang layak terhadap pencipta dapat menjadi kontradiksi yang meruntuhkan kredibilitas PT KAI,” imbuhnya.
Rekomendasi
Sebaiknya, lanjut Aviep yang juga pencipta lagu agar festival dan institusi bersih dari kontroversi, berikut beberapa langkah yang disarankan: Sebaiknya diverifikasi Hak Cipta degan memastikan siapa pemegang hak cipta resmi Sang Bumi Ruwa Jurai. Jika pencipta masih hidup atau ahli warisnya, lakukan dialog untuk klarifikasi dan perjanjian. Keudian melakukan pembayaran Royalti & Izin Resmi. “Lakukan kompensasi atau pembayaran royalti berbasis regulasi, melalui LMK atau lembaga terkait, agar penggunaan lagu ini sah menurut hukum,” terang Aviev.
PT KAI melakukan apresiasi terbuka saat festival berlangsung . Gunakan momen festival untuk mengundang pencipta atau ahli waris lagu sebagai tamu kehormatan. “Memberikan penghargaan atau ucapan terima kasih secara publik dapat menjadi langkah simbolis yang kuat,” imbh Aviep.
Langkah selanjutnya, melakukan penyuluhan Internal KAI dengan mengadaka pelatihan hukum hak cipta bagi manajemen dan staf, agar penggunaan materi musik di stasiun, promosi, atau acara publik mengacu pada prosedur yang benar.
Hal ini bisa dilakukan degan kolaborasi dengan Pemangku Kepentingan dengan melibatkan organisasi seperti PAPPRI, LMK, LMKN, serta DJKI (Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual) dalam merumuskan kebijakan internal KAI terkait penggunaan musik dan pertunjukan publik.
Pasalnya, hal ini tak hanya terjadi di Stasiun KAI Tanjungkarang tetapi juga di Stasiun Tugu dan Lempuyangan yang melakukan penghentian sementara pemutaran lagu “Sepasang Mata Bola” karya Ismail Marzuki. Kemudia juga Stasiun Solo Balapan yang menghentikan pemutaran lagu “Bengawan Solo”. KAI menyatakan bahwa penghentian ini sementara, sampai administrasi izin dan pembayaran royalti dirampungkan.
Langkah ini diambil agar KAI dapat memastikan bahwa semua penggunaan lagu di area publik sudah memenuhi persyaratan izin dan kewajiban royalti kepada pencipta atau pemegang hak cipta.
Secara hukum, pemutaran publik sebuah lagu dilindungi oleh UU Hak Cipta (UU No. 28 Tahun 2014) dan aturan tambahan seperti PP No. 56 Tahun 2021 mengenai pengelolaan royalti lagu/musik. Kewajiban administratif dan pembayaran royalti adalah bagian penting dari kepatuhan terhadap regulasi
Publik berharap bahwa setelah semua prosedur terpenuhi, lagu‑lagu khas seperti Sepasang Mata Bola dapat kembali diputar di stasiun‑stasiun tersebut.(Christian Saputro)