Sumaterapost.co | JAKARTA – Pernyataan Menteri Perumahan dan Permukiman (PKP) Maruara Sirait dan Kepala Kantor Staf Kepresidenan (KSP) Muhammad Qodari yang mengklai Bank Indonesia (BI) memberikan ‘bantuan’ sebesar Rp 80 triliun untuk sektor perumahan baru-baru ini menjadi sorotan tajam.
Awalnya, klaim itu terdengar meyakinkan, seolah-olah BI menggelontorkan dana tunai jumbo untuk mendanai program 3 juta rumah.
Namun, di balik jargon politik yang bombastis, Direktur Political and Public Policy Studies (P3S), Jerry Massie, menyoroti bahwa klaim tersebut merupakan salah kaprah yang berpotensi menyesatkan publik.
Jerry Massie bahkan menyebut klaim itu sebagai lelucon yang membingungkan antara instrumen moneter dan kebijakan fiskal.
Menurut Jerry Massie, apa yang sebenarnya terjadi adalah pelonggaran Giro Wajib Minimum (GWM) yang dilakukan oleh BI.
“BI hanya melonggarkan GWM bank umum ke level 5%, dan pelonggaran ini memberikan ruang likuiditas tambahan,” jelas Jerry.
Ia menekankan bahwa ruang likuiditas itu diperkirakan setara dengan Rp80 triliun, bukan uang tunai yang diberikan langsung untuk perumahan.
“Likuiditas tersebut tidak spesifik untuk perumahan saja,” tandas Jerry Massie dalam keterangannya.
Bank, lanjut dia, memiliki kebebasan untuk menyalurkannya ke sektor lain sesuai dengan pertimbangan risiko dan kebutuhan,.
“Oleh karena itu, klaim bantuan Rp 80 triliun untuk perumahan adalah plesetan teknis yang sangat menyesatkan,” kata dia.
Analisis Qodari Ikut-ikutan Bikin Bingung, Campur Aduk Kebijakan Moneter dan Fiskal
Tidak hanya itu, Jerry Massie juga mengkritik pernyataan analis politik lain yang menyebut politisi itu lebih pintar dari Menteri Keuangan Purbaya karena lebih dulu mengusulkan penurunan GWM.
“Kekeliruan paling fatalnya terletak pada pemahaman dasar otoritas kebijakan. GWM adalah instrumen moneter, sepenuhnya domain BI, bukan usulan politisi atau menteri,” tegas Jerry Massie.
Ia menjelaskan bahwa BI menaikkan atau menurunkan GWM berdasarkan analisis stabilitas keuangan dan inflasi.
Sementara itu, penempatan dana pemerintah di bank Himbara merupakan instrumen fiskal yang sepenuhnya dikendalikan oleh Kementerian Keuangan.
“Menyamakan keduanya itu seperti menyamakan cabai rawit dengan bawang merah. Sama-sama di dapur, tapi fungsinya beda total,” ujar Jerry.
Ia menambahkan, percampuran otoritas fiskal dan moneter oleh figur publik bisa mengganggu kredibilitas kebijakan.
“Investor dan pelaku pasar bisa menjadi ragu apakah keputusan BI masih independen atau sudah dipengaruhi oleh kepentingan politik,” jelas Jerry.
Target Perumahan Terancam Mandek:
Jerry Massie menegaskan bahwa di balik “kelucuan” ini, ada dimensi ekonomi yang sangat serius.
“Salah persepsi publik bisa memicu ekspektasi yang tidak realistis,” katanya.
Ia khawatir, jika masyarakat percaya ada dana khusus, ekspektasi mereka bisa melambung tinggi tanpa dasar yang kuat.
Padahal, keberhasilan program perumahan sangat bergantung pada ketersediaan rumah terjangkau dari pengembang dan kemampuan masyarakat untuk mengajukan KPR.
Jerry Massie juga memaparkan bahwa target program 3 juta rumah terancam stagnan jika masalah dasarnya tidak diselesaikan.
Tantangan sebenarnya bukan sekadar melonggarkan GWM. Masalahnya ada pada ketersediaan lahan murah, efisiensi biaya pembangunan.
“Termasuk skema pembiayaan yang benar-benar bisa diakses oleh masyarakat berpenghasilan rendah,” paparnya.
Tanpa solusi nyata, klaim “bantuan” Rp80 triliun hanya akan menjadi angin lalu.
Ia menyimpulkan, publik harus lebih kritis. Di balik jargon politik yang menghibur, ada taruhan besar janji Presiden Prabowo yang dipertaruhkan.
“Ingat, keberhasilan atau kegagalan program yang menyangkut hajat hidup jutaan rakyat berisiko tajam terhadap reaksi publik,” pungkas Jerry.(ndy).