Oleh: Christian Heru Cahyo Saputro,Redaktur Budaya’ SK Sumatera Post tinggal di Tembalang, Semarang
Pada sebuah malam yang dibalut angin lembut dan bayang jingga matahari di pelataran Kota Lama Semarang, 24 perempuan menari. Mereka tak sekadar bergerak—mereka menghidupkan cerita, menyulam kembali lembar-lembar sastra Jawa yang nyaris redup di ingatan zaman. Ini bukan sekadar pertunjukan. Ini adalah pemanggilan kembali jiwa-jiwa lama: Dewi Sekartaji dan Raden Panji. Ini adalah Chattra Chandra Kirana, tarian persembahan Komunitas Diajeng Semarang (KDS) dalam ajang Fiesta Folklore Nusantara, Festival Kota Lama ke-14.
Tari sebagai Ziarah Cinta
Dalam dunia Panji, cinta bukan sekadar perasaan. Ia adalah pengembaraan. Ia adalah perjuangan batin dan raga. Di tangan koreografer Ayu Wardani, kisah klasik Panji dan Sekartaji menjelma menjadi tarian bertajuk Chattra Chandra Kirana, yang diambil dari kata “chattra” (payung kerajaan) dan “chandra kirana” (cahaya rembulan). Sebuah metafora: Sekartaji adalah pelindung cinta itu sendiri, cahaya yang tak pernah padam meski ditelan malam.
Sekartaji, putri dari Kerajaan Kediri, menolak pernikahan paksa yang hendak mengikatnya tanpa cinta. Dalam keberaniannya, ia memilih jalan sunyi—melarikan diri, meninggalkan kemewahan istana, dan menjelma menjadi orang biasa. Di jalan pengembaraan itu, ia menyamar, bertopeng, menari. Setiap gerakannya bukan untuk panggung, melainkan untuk semesta: doa yang dikirim lewat tubuh, harapan yang digantungkan pada langit.
Gerak yang Menyampaikan Kerinduan
Tarian ini tak meledak-ledak. Ia lembut seperti desir angin di sela daun jati. Gerakan para penari KDS membawa penonton masuk dalam suasana batin Sekartaji: langkah ragu, lirikan cemas, lonjakan harap, dan desah cinta yang tak pernah padam. Topeng yang dikenakan bukan untuk menyembunyikan, tetapi justru untuk mengungkapkan: bahwa cinta yang sejati, kadang hanya bisa ditunjukkan dengan cara-cara yang tak biasa.
Di balik iringan gamelan yang diolah halus, tubuh-tubuh para penari menjelma seperti bayangan-bayangan masa lalu. Mereka adalah Sekartaji yang terus mencari Panji, dan kita yang menyaksikan adalah rakyat dalam epos panjang itu—menunggu apakah cinta akan kembali bersatu, atau justru abadi dalam perpisahan yang luhur.
Keindahan dalam Jumlah dan Kolektivitas
Tak kurang dari 24 penari tampil dalam satu irama kolektif. Mereka adalah para perempuan muda Semarang yang tergabung dalam Komunitas Diajeng—organisasi yang tak hanya merawat budaya tetapi juga mempraktikkannya dalam hidup sehari-hari. Di tangan mereka, warisan Panji tidak lagi sekadar teks kuno, melainkan pengalaman tubuh dan perasaan. Mereka menari sebagai perempuan Jawa hari ini—dengan tubuh yang sadar akan sejarahnya, dan jiwa yang ingin terus bertanya: Apakah cinta layak diperjuangkan sejauh ini?
Lebih dari Sekadar Tari
Chattra Chandra Kirana bukan hanya pertunjukan tari. Ia adalah bentuk perlawanan kultural. Dalam dunia yang makin cepat dan gemerlap, Komunitas Diajeng Semarang memilih menyuarakan keindahan yang bersahaja, yang datang dari dalam. Mereka membangkitkan kembali naskah-naskah Panji yang pernah diakui UNESCO sebagai Memory of the World, tapi sering kali terabaikan dalam pendidikan dan kehidupan sehari-hari.
Melalui pertunjukan ini, kita tak hanya menyaksikan kisah cinta. Kita diajak masuk dalam dunia nilai-nilai luhur: keberanian perempuan, pentingnya kesetiaan, dan keyakinan bahwa kebenaran akan menemukan jalannya.
Ketika senja usai dan lampu-lampu panggung dimatikan, suara tepuk tangan masih mengalun. Tapi di atas semuanya, yang paling membekas adalah getaran: bahwa kisah Panji bukan dongeng kuno. Ia adalah kita—yang mencari, yang menanti, dan yang percaya bahwa dalam setiap langkah, tarian, dan cinta… selalu ada cahaya yang tak padam.
Dan malam itu, di pelataran Kota Lama Semarang, cahaya itu bernama Chandra Kirana. (*)




