Oleh: Wilson Lalengke
Jakarta – Salah satu alasan saya memilih Prabowo pada Pilpres 2024 lalu adalah program Makan Bergizi Gratis (MBG) bagi anak sekolah. Mengapa? Karena saya pernah menjalankan program serupa dalam skala kecil pada tahun 2001 di Pekanbaru, Riau. Saat itu, bersama kawan-kawan alumni Program Persahabatan Indonesia-Jepang Abad-21 (Kappija-21) Riau, kami menggalang dana untuk memberikan makanan tambahan kepada bayi dari keluarga kurang mampu di pinggiran kota.
Program sederhana itu berlangsung hampir setahun. Setiap Senin, saya mendatangi sejumlah puskesmas untuk membagikan biskuit, susu bayi, dan telur ayam. Meski kecil, program tersebut terbukti bermanfaat. Data dari petugas puskesmas menunjukkan adanya peningkatan berat badan, tinggi badan, kesehatan, serta kelincahan bayi. Para orang tua pun menyambut positif inisiatif ini.
MBG: Menyediakan Harapan Baru
Di ruang-ruang kelas di seluruh dunia, kelaparan masih menjadi hambatan tersembunyi dalam proses belajar. Bagi jutaan anak, sepiring makanan bergizi di sekolah bukan sekadar santapan, melainkan penyelamat menuju kesehatan yang lebih baik, konsentrasi belajar yang meningkat, dan masa depan yang cerah.
Menurut survei Global Child Nutrition Foundation (2024), sedikitnya 142 negara telah menerapkan program MBG, dengan 207 lembaga pendidikan berskala besar terlibat di dalamnya. Sebanyak 41% siswa sekolah dasar di dunia menerima makanan gratis atau bersubsidi setiap hari. Hasilnya, tingkat kehadiran meningkat hingga 9%, sedangkan capaian literasi dan numerasi naik 20–30%.
Dampak lainnya, MBG yang berbasis bahan pangan lokal mampu mendorong pertumbuhan ekonomi hingga 1,6–2 kali lipat dari dana yang dibelanjakan.
Relevansi MBG bagi Indonesia
Bagi Indonesia, MBG menjadi salah satu strategi penting memerangi malnutrisi dan stunting. Lebih dari 40% anak Indonesia bersekolah dalam kondisi lapar, sementara hanya 10% yang rutin sarapan bergizi. Program ini langsung menjawab persoalan kesenjangan gizi tersebut.
Selain meningkatkan kesehatan, MBG juga berkontribusi pada prestasi akademik, fungsi kognitif, serta kesetaraan sosial. Semua anak mendapat akses yang sama, tanpa stigma perbedaan ekonomi. Program ini bahkan membuka lebih dari 1 juta lapangan kerja baru, mayoritas untuk perempuan, sekaligus menggerakkan sektor pertanian, peternakan, dan perikanan lokal.
Rekomendasi Penguatan Program MBG
Agar dampak MBG lebih optimal, sejumlah langkah disarankan:
1. Variasi Menu Sesuai Budaya: Menu makanan perlu disesuaikan dengan kearifan lokal, kaya variasi, dan tidak bergantung pada produk olahan.
2. Edukasi Gizi: Badan Gizi Nasional (BGN) harus mengintegrasikan literasi pangan ke kurikulum, melibatkan anak dan orang tua agar kebiasaan sehat juga terbangun di rumah.
3. Kemitraan Lokal: Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) perlu bermitra dengan petani, katering lokal, serta dinas kesehatan, sembari memberdayakan sekolah sebagai pengelola distribusi.
Tantangan: Risiko Keamanan Pangan
Meski penuh manfaat, MBG juga menghadapi tantangan serius, terutama risiko keracunan makanan. Tercatat lebih dari 5.000 siswa menjadi korban insiden keracunan akibat distribusi makanan dari sejumlah SPPG di berbagai daerah.
Untuk mencegah kasus serupa, perlu dilakukan reformasi segera:
Standar Ketat Kebersihan & Keamanan Pangan, bekerja sama dengan BPOM melalui inspeksi rutin.
Kontrol Suhu & Waktu Penyajian agar makanan selalu aman dikonsumsi.
Pengawasan Transparan, termasuk sanksi tegas hingga penghentian operasional bagi SPPG yang terbukti lalai.
Komitmen untuk Generasi Emas
Program MBG bukan semata inisiatif pemerintah, melainkan komitmen seluruh rakyat Indonesia untuk menyiapkan generasi mendatang. Pemerintah menargetkan lebih dari 82,9 juta anak menjadi penerima manfaat di tahun-tahun mendatang.
Dunia pun menaruh perhatian pada Indonesia. Karena ketika anak-anak memperoleh gizi yang baik, mereka tidak hanya tumbuh lebih sehat, tetapi juga lebih siap belajar, berkembang, dan kelak memimpin masa depan. (*)
Penulis: Alumni Program Persahabatan Indonesia-Jepang Abad-21, tahun 2000
( Kasiono)