Oleh Christian Heru Chyo Saputro, Redaktur Budaya SKH Sumatera Post tinggal di Semarang.
Semarang — Di tengah tembok tua dan jalanan Kota Lama, Gedung Oudetrap kembali bernapas. Jumat (3/10/2025), pintu kayu bersejarah itu terbuka, menyambut pameran Jalur Sutra Maritim. Bukan sekadar ruang pamer, melainkan sebuah panggung lintas waktu—di mana sejarah, seni, dan diplomasi budaya bertemu, lalu berbisik kepada kita tentang masa lalu yang tak pernah benar-benar pergi.
Di ruang remang yang dipenuhi aroma kayu tua, pengunjung diajak menyusuri jalur pelayaran yang dulu mengikat Asia, Afrika, hingga Eropa. Arsip dagang, peta kuno, dan artefak maritim berbicara tentang betapa Semarang adalah simpul penting dalam peredaran sutra, rempah, dan gagasan. Lalu, denting musik Lamkwan dan bayang-bayang wayang potehi menegaskan bahwa warisan itu bukan sekadar catatan, melainkan denyut budaya yang masih hidup.
Semarang: Pintu Laut, Pintu Budaya
“Semarang bukan hanya saksi jalur dagang, tapi juga ruang temu budaya,” ujar R. Wing Wiyarso Poespojoedho, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Semarang. Kalimat itu terpantul di dinding-dinding kolonial gedung, seolah menegaskan bahwa kota pelabuhan ini sejak awal adalah titik temu dunia.
Kini, pengakuan datang kembali. Bersama Cirebon, Semarang resmi bergabung dalam jaringan Coastal and Maritime Silk Road Cities Alliance (CMSAR). Hanya ada dua kota dari Indonesia yang masuk lingkaran 36 kota pesisir dunia ini. Sebuah tanda, bahwa jejak masa lalu tak hanya jadi cerita, tapi juga modal diplomasi masa kini.
Dari Arsip ke Panggung
Yang membuat pameran ini istimewa adalah caranya merangkai masa lalu dengan kehidupan kini. Arsip tak dibiarkan diam, tetapi dihidupkan kembali lewat pertunjukan. Lantunan Lamkwan dari Rasa Dharma (Boen Hian Tong) berkelindan dengan kisah-kisah visual, sementara wayang potehi membuka kembali lembar-lembar interaksi Tionghoa di Semarang.
Kombinasi itu membuat pameran tak lagi menjadi monumen beku, melainkan ruang dialog. Dialog antara generasi, antara komunitas, bahkan antara bangsa-bangsa yang pernah bertemu di dermaga Semarang.
Warisan yang Menyapa Masa Depan
Di balik semua arsip dan atraksi, ada pesan yang terasa mendesak: jejak maritim Indonesia adalah warisan dunia.
Ia bukan hanya milik Semarang atau Cirebon, tapi bagian dari narasi global tentang persilangan manusia. Menjaganya berarti merawat jati diri bangsa sekaligus memperkuat posisi Indonesia dalam percaturan budaya internasional.
Kota Lama kini bukan sekadar nostalgia. Ia adalah laboratorium masa depan—tempat di mana sejarah dipelajari bukan untuk dikenang semata, tapi untuk dijadikan kompas. Dari pelabuhan tua ini, Indonesia sekali lagi menatap laut, menyiapkan layar, dan meneguhkan diri sebagai bangsa maritim.(*)