Semarang, 4 Oktober 2025 — Aroma kecap dan bawang goreng menyeruak di udara Pecinan Semarang, Sabtu malam, ketika Wali Kota Semarang Agustina Wilujeng Pramestuti bersama warga dan tokoh masyarakat mengaduk wajan raksasa berisi Bakmie Jowo. Aksi kuliner unik itu menjadi tanda simbolis diaktifkannya kembali Waroeng Semawis, pusat kuliner malam legendaris yang sempat terhenti selama beberapa tahun terakhir.
Ratusan pengunjung memadati gang-gang sempit yang dihiasi lampion merah. Musik keroncong mengalun lembut, menyatu dengan tawa pengunjung dan aroma jajanan kaki lima yang menggoda. Dari lumpia Semarang, sate babat, hingga es puter kelapa muda, semua tersaji dalam suasana yang meriah.
“Waroeng Semawis bukan sekadar tempat makan malam. Ini ruang hidup kota — tempat budaya tumbuh dan toleransi dirasakan lewat sepiring makanan,” ujar Wali Kota Agustina di sela kegiatan memasak.
“Semangat Waroeng Semawis adalah semangat kebersamaan dan gotong royong. Dari wajan besar ini, kita belajar bahwa keberagaman rasa bisa berpadu dalam satu hidangan yang menghangatkan.” tandasnya.
Tokoh Tionghoa Semarang, Harjanto Halim, juga menyambut gembira reaktivasi Waroeng Semawis. “Semawis adalah denyut nadi Pecinan. Kembalinya pasar malam ini bukan hanya tentang ekonomi, tapi tentang merawat warisan dan keberagaman yang menjadi kekuatan kota ini,” tutur Ketua Kopi Semawis..
Senada dengan itu, Markus, tokoh masyarakat setempat, berharap Semawis bisa dikelola lebih profesional namun tetap berpihak pada warga lokal. “Kami tumbuh bersama Semawis. Dulu cuma belasan stan, sekarang jadi ikon. Kami ingin Semawis tetap jadi milik warga,” katanya.
Simbol Akulturasi dan Harapan Baru
Bakmie Jowo yang dimasak bersama bukan sekadar sajian kuliner, melainkan simbol akulturasi antara budaya Tionghoa dan Jawa — dua identitas yang melebur dalam sejarah panjang Kota Semarang. Dari wajan raksasa itu, lahir pesan tentang persaudaraan, kebersamaan, dan cita rasa yang menyatukan.
Kini, dengan dukungan pemerintah, DPRD, komunitas, dan pelaku UMKM, Waroeng Semawis siap kembali menjadi jantung ekonomi malam dan ruang budaya yang mempertemukan semua lapisan masyarakat.
Malam itu, di bawah cahaya lampion yang temaram, Pecinan seolah berbisik: dari semangkuk mie, kita belajar tentang rasa, kebersamaan, dan harapan yang terus hidup di kota yang penuh cerita ini.
(Christian Saputro)