Oleh Christian Heru Cahyo Saputro, Jurnalis penyuka seni rupa tinggal di Tembalang, Semarang.
Di sebuah sudut tenang di Art Center FIB Universitas Diponegoro, Semarang, sapuan warna menggema dalam keheningan. Gunung-gunung menjulang tak hanya sebagai lanskap, tapi juga sebagai bahasa jiwa. Hutan, kabut, dan langit biru menjelma doa. Inilah pameran “Restrospeksi: Djadmikaning Bhumi”—sebuah perjalanan batin seorang pelukis yang telah menempuh jalan sunyi seni rupa selama lebih dari lima dekade: Arie Jatmiko.
Dibuka pada 6 Oktober 2025, pameran ini menyuguhkan 42 karya pilihan dari tahun 1970 hingga 2024. Bukan sekadar retrospeksi kronologis, melainkan ziarah visual yang menghantarkan kita pada tafsir spiritual atas alam. Karya-karya Arie bukan sekadar lukisan; ia adalah fragmen perenungan, bisikan bumi, dan kesaksian seorang perupa terhadap dunia yang kian hiruk.
Gunung, Doa yang Dituangkan dalam Warna
Arie Jatmiko tidak melihat gunung sebagai objek mati. Dalam goresannya, gunung adalah makhluk agung: saksi bisu perjalanan manusia, penjaga sunyi, dan cermin jiwa. Setiap puncak yang dilukisnya mengandung kesunyian yang nyaring. Di sanalah kesadaran ekologis dan spiritual bertaut, dalam diam yang menggetarkan.
“Alam bukan untuk ditaklukkan, tapi untuk diajak bicara,” seolah demikian pesan Arie. Dalam kepekaan yang subtil, ia menangkap denyut halus bumi, lalu mengabadikannya dalam karya yang hening tapi dalam.
Eling: Kesadaran sebagai Laku Seni
Kurator Kuss Indarto menafsirkan karya-karya ini sebagai “eling” —kesadaran untuk pulang, kepada bumi, kepada diri, kepada Sang Sumber. “Arie Jatmiko bukan sekadar melukis alam, tapi memuliakannya. Ia membangun hubungan spiritual yang transenden dengan semesta,” ujar Kuss.
“Djadmikaning Bhumi”, sebagai tajuk pameran, menyiratkan niat suci: menjadikan bumi bukan hanya tempat berpijak, melainkan sumber nilai, arah hidup, dan perenungan. Lukisan menjadi medium untuk menandai perjalanan spiritual seorang seniman yang terus “nandur”—menanam makna dalam setiap garis dan warna.
Jejak Seorang Perupa Sunyi
Lahir di Ngawi, 3 Juni 1953, Arie Jatmiko menempuh pendidikan seni di SMSR dan ISI Yogyakarta. Berpijak sejak 1970-an, ia telah menempuh jalan sunyi yang tak banyak ditapaki: menjadi penyaksi perubahan zaman lewat lukisan lanskap yang jujur, hening, dan mendalam. Berpuluh tahun, Arie konsisten dengan satu laku: melukis sebagai bentuk sembah, bukan semata profesi.
Bertempat tinggal di Mojosongo, Solo, Arie adalah perupa yang menjauh dari sorot ingar-bingar, tapi karyanya senantiasa berbicara. Ia adalah penafsir batin semesta, yang percaya bahwa di balik keindahan visual, terdapat suara sunyi yang menuntun kita pulang ke dalam diri.
Menyulam Kembali Koneksi dengan Semesta
Pameran Djadmikaning Bhumi bukan hanya tentang lukisan. Ia adalah ajakan untuk hening sejenak, menimbang ulang hubungan kita dengan bumi, dan membangun kembali jembatan batin yang mulai retak karena modernitas. Dalam dunia yang gaduh, karya Arie mengajarkan: bahwa dalam diam, kita bisa mendengar yang paling dalam.
Melalui karya-karyanya, Arie Jatmiko mengajarkan bahwa melukis bukan untuk memikat mata, tetapi untuk menyentuh jiwa. Dan di antara kabut gunung dan bias cahaya senja di kanvasnya, barangkali kita menemukan sesuatu yang telah lama hilang: diri kita sendiri. (*)