Oleh: Christian Heru Cahyo Saputro, penyuka seni rupa.
Di atas bidang kanvas berukuran 100 x 135 sentimeter, Bambang Suroboyo tidak sekadar melukis. Ia menyulam ulang sejarah, menyampaikan dentuman purba yang mengguncang dunia melalui warna, tekstur, dan energi visual. Karyanya yang berjudul “Relis Krakatau Purba”, bagian dari seri epik 1001 Lukisan tentang Legenda Krakatau, adalah sebuah napas panjang yang tertinggal dari masa lalu—letusan, kehancuran, sekaligus kelahiran baru dari rahim bumi.
Krakatau: Ketika Alam Berbicara dengan Suara Guntur
Letusan Krakatau tahun 1883 adalah salah satu peristiwa geologis paling dahsyat dalam sejarah manusia. Bumi menggetar, langit menghitam, dan suara ledakannya terdengar hingga ribuan kilometer jauhnya. Namun, Bambang tidak hanya melihat peristiwa itu sebagai catatan ilmiah. Ia membacanya sebagai simbol. Sebuah pesan dari alam tentang kekuasaan yang tak bisa ditaklukkan. Lewat lukisan ini, Krakatau menjelma menjadi bahasa alam yang agung, mengisahkan bahwa kehancuran pun bisa menjadi awal dari ciptaan baru.
Swarna Tirta Jenggala: Teknologi dan Tradisi dalam Sapuan Warna
Keunikan karya ini juga terletak pada medianya. Bambang menggunakan
Swarna Tirta Jenggala (STJ), sebuah cat air olahan organik-anorganik yang mengandung jiwa lokal dan kecanggihan teknologi pewarnaan. Cat ini bukan sekadar medium, melainkan representasi dari filosofi Jenggala yang menyatu dengan unsur tanah dan air. Hasilnya adalah warna-warna yang hidup, tahan waktu, dan memiliki kedalaman emosional—seolah bumi sendiri yang melukis melalui tangannya.
Membaca Ulang Alam dengan Rasa
“Relis Krakatau Purba” bukan hanya karya yang bisa dilihat, tapi karya yang harus direnungkan. Ia mengajarkan bahwa dalam keagungan alam ada pelajaran tentang ketundukan, dalam kehancuran ada ruang kelahiran. Bambang menyalurkan rasa hormatnya pada bumi, bukan dengan gemuruh, tapi lewat keheningan sapuan kuas yang tajam namun syahdu.
Lebih dari Sekadar Pemandangan
Dalam era ketika manusia semakin jauh dari akar ekologisnya, lukisan ini menjadi semacam “mantra visual” yang membisikkan kembali pentingnya keselarasan. Krakatau, lewat tangan Bambang, tak lagi sekadar gunung atau peristiwa. Ia adalah narasi kehidupan itu sendiri: purba, penuh daya, dan mengandung pesan spiritual yang melampaui waktu.
Krakatau Purba adalah perwujudan kesadaran artistik yang matang dan mendalam. Dalam karya ini, Bambang Suroboyo menunjukkan bahwa seni bukan hanya representasi realitas, tetapi juga jembatan antara sejarah, jiwa, dan semesta. Sebuah karya yang bukan hanya untuk dilihat, tetapi untuk dialami—dengan hati, rasa, dan kesadaran. (*)