Oleh: Christian Heru Cahyo Saputro, Redaktur Budaya SKH Sumatera Post tinggal di Semarang.
Malam turun perlahan di Kota Lama Semarang. Lampu-lampu temaram memantul di batu-batu jalan yang masih lembap oleh sisa hujan. Di antara gedung-gedung kolonial yang menyimpan cerita masa silam, gamelan mulai bergetar pelan. Bunyi saron dan gong seolah membangunkan ruang, mengajak waktu untuk berhenti sejenak. Di bawah langit yang terbuka itu, kisah Begawan Ciptoning kembali lahir—tidak di gedung megah, tapi di jalanan tempat denyut masyarakat berdetak.
Itulah Wayang On The Street (WOTS), gagasan cemerlang yang menyalakan kembali api tradisi lewat ruang publik. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Semarang (Disbudpar) bersama Wayang Orang Ngesti Pandowo menghadirkan pertunjukan yang unik dan penuh makna pada Jumat malam (10/10/2025) di Open Theatre Oudetrap, Kota Lama. Lakon yang diangkat—Begawan Ciptoning—adalah kisah klasik Arjuna yang memilih jalan sunyi pertapaan demi menemukan kesejatian hidup.
Ketika Arjuna Menanggalkan Panah dan Busurnya
Dalam kisah ini, Arjuna menanggalkan atribut kesatria: busur Gandewa, panah Pasopati, serta segala gelar duniawi yang melekat padanya. Ia memilih menjadi pertapa di Gunung Indrakila, mencari makna sejati di balik kekuasaan dan kemenangan. Namun, seperti kehidupan manusia, perjalanan spiritualnya tidak mudah. Godaan dunia datang berulang kali—kecantikan, kekuasaan, dan kebanggaan diri. Tapi dari ujian itu, lahir seorang Begawan, bukan hanya pahlawan di medan perang, melainkan pemenang di dalam diri.
“Lakon ini bicara tentang keseimbangan antara dunia dan batin,” ujar Paminto Krisna, penata tari yang menghidupkan pergerakan tubuh Arjuna di atas panggung jalanan. “Arjuna adalah cermin kita hari ini—manusia yang dihadapkan pada hiruk pikuk dunia, tapi terus mencari sunyi di tengah bisingnya zaman.”
Panggung Jalanan, Ruang Jiwa yang Hidup
Sutradara pertunjukan, Bude Lee, menyebut bahwa Wayang On The Street adalah bentuk keberanian baru dalam menghidupkan seni tradisi. “Kami ingin budaya tidak hanya dipentaskan di gedung, tapi hadir menyapa masyarakat di jalanan. Seni harus kembali ke pangkuan publiknya,” tuturnya.
Dan malam itu, publik benar-benar hadir. Mereka datang dengan payung, dengan jaket yang lembap oleh gerimis, tapi tak beranjak hingga kisah berakhir. Dari anak kecil yang duduk di pundak ayahnya hingga wisatawan yang berhenti sejenak dari perjalanan, semua terbius oleh irama gamelan Githung Swara yang mengiringi kisah spiritual Arjuna.
Merawat Warisan, Menghidupkan Kesadaran
Kepala Disbudpar Kota Semarang, Wing Wiyarso Poespojoedho, melalui Kepala Bidang Kebudayaan Saroso, S.Sn., menyampaikan bahwa Wayang On The Street merupakan bentuk nyata pelestarian warisan budaya. “Wayang adalah jati diri kita. Dengan membawanya ke ruang publik, kita memberi napas baru pada warisan lama yang tak boleh padam,” ujarnya.
Saroso juga memberikan apresiasi kepada masyarakat yang tetap setia menonton meski diguyur hujan. “Terima kasih untuk warga Semarang dan semua penonton setia. Ini bukan hanya tontonan, tapi tuntunan. Semoga penonton bisa mengambil filosofi dari kisah-kisah wayang ini,” katanya. Ia juga menyampaikan penghargaan khusus kepada Grace Widjaya, inisiator Wayang On The Street, atas gagasannya yang membawa seni tradisi lebih dekat dengan kehidupan sehari-hari.
Tradisi yang Tak Lagi Berjarak
Wayang On The Street bukan sekadar pertunjukan. Ia adalah ruang temu antara masa lalu dan masa kini, antara seni dan masyarakat, antara batin dan dunia. Setiap Jumat minggu kedua setiap bulan, panggung jalanan Kota Lama menjadi ruang ritual baru—bukan untuk sembahyang, tapi untuk merayakan kebudayaan.
Dari semangat itu, tampak jelas bahwa pelestarian budaya bukan lagi soal menjaga yang tua, tetapi menghidupkan kembali yang bijak. Begawan Ciptoning bukan hanya kisah Arjuna; ia adalah metafora manusia modern yang mencari kedamaian di tengah hiruk pikuk peradaban.
Dan ketika malam beranjak tua, gamelan mereda, penonton mulai beranjak pulang. Tapi di antara langkah-langkah mereka, ada yang tertinggal: rasa tenang yang halus, seperti embun yang jatuh di dada. Mungkin itulah berkah dari Wayang On The Street—bukan sekadar pertunjukan, melainkan perjalanan sunyi menuju keseimbangan jiwa. (*)




