Oleh Christian Heru Cahyo Saputro, Redaktur Budaya SKH Sumatera Post tinggal di Semarang
Sore di Semarang turun dengan lembut. Di Jalan Mataram, sebuah rumah berarsitektur kuno berdiri teduh di bawah bayangan pohon berdaun lebat yang tua. Dari luar, rumah itu tampak biasa—dinding putih, jendela kayu besar, halaman kecil dengan kursi rotan. Namun, siapa sangka di dalamnya, percakapan hangat tentang hidup, perempuan, dan keberanian sedang mengalir dengan tenang namun dalam: Rumah Mataram 360 milik Inge Dharmowijono bukan sekadar rumah, melainkan ruang bagi gagasan. “Selamat sore, selamat datang di Rumah Mataram 360,” suara lembut Inge membuka acara.
“Rumah ini untuk siapa saja yang ingin belajar, berbagi, dan bergembira.”
Hari itu, diskusi bertema “Janda: Tantangan, Posisi, dan Potensi Perempuan Mandiri” digelar dengan suasana hangat. Tak ada jarak antara pembicara dan peserta. Buku Janda: Kisah-Kisah Perempuan Pemimpin Keluarga karya Jane Ardaneshwari menjadi titik berangkat perbincangan—sebuah antologi yang menyorot perempuan yang memilih untuk kuat ketika dunia seolah menuntut mereka lemah.
Dari Rumah ke Ruang Ide
Rumah Mataram 360 bukan galeri, bukan pula auditorium. Ia adalah ruang intim—tempat tamu duduk di ruang tengah, kopi dan teh disajikan tanpa protokol. Namun dari keintiman itulah, percakapan besar kerap lahir.
“Sudah lama kami tidak mengadakan diskusi,” kata Inge dengan senyum kecil. “Kami rindu. Dan kami percaya, rumah ini tidak boleh diam. Ia harus menjadi tempat orang berpikir, berdebat, dan menemukan dirinya.”
Bersama suaminya, dr. Teguh Rahardjo, dan anak-anaknya, Inge ingin menjadikan Rumah Mataram 360 sebagai simpul bagi kegiatan seni, sastra, dan dialog kebudayaan. “Kami ingin berbagi inspirasi,” ujarnya, “sebagai balas budi pada semua yang sudah menginspirasi kami.”
Janda, Penyandang, dan Pandangan Masyarakat
Dalam diskusi itu, Inge berbicara bukan sebagai narasumber, tapi sebagai penggerak wacana. Ia menyinggung satu kata dari prakata buku yang membuatnya “tersengat”: penyandang.
“Saya penyandang disabilitas,” katanya dengan jujur. “Itu terlihat. Tapi janda—ia penyandang status yang tidak terlihat.”
Ucapan itu disambut hening, sebelum akhirnya mengalir menjadi percakapan yang hangat. Di Rumah Mataram 360, istilah penyandang bukan sekadar label, tetapi titik berangkat untuk memahami kemanusiaan.
Dari Mbok Yah ke Kesadaran Sosial
Inge bercerita tentang Mbok Yah, asisten rumah tangganya dahulu—seorang perempuan sederhana yang berjuang lebih dari satu dekade untuk menceraikan suaminya. “Ia janda yang belum janda,” kenangnya. “Ia hidup di antara dua dunia: ingin merdeka, tapi terikat.”
Kisah itu menjadi refleksi yang menembus batas agama, kelas sosial, dan budaya. “Masalah Mbok Yah adalah masalah banyak perempuan,” ujarnya, “dan karena itu, diskusi tentang janda adalah diskusi tentang kemanusiaan.”
Dari Penerbitan ke Gerakan Literasi
Sore itu, Inge juga berbicara tentang penerbit Elfa Mediatama, yang menerbitkan buku Janda: Kisah-Kisah Perempuan Pemimpin Keluarga. Ia memuji semangat penerbit yang memberi ruang bagi penulis untuk menerbitkan karya tanpa hambatan ekonomi.
“Sebagai penulis dan penerjemah, saya tahu pahitnya ditolak penerbit besar,” katanya. “Tapi Elfa datang dengan niat baik, dan itu langka.”
Bagi Inge, penerbit independen seperti Elfa adalah bagian dari ekosistem kreatif yang harus dijaga: “Mereka memelihara gagasan yang tidak populer tapi penting.”
Tentang Inge Dharmowijono
Inge, bernama lengkap Widjajanti Dharmowijono, lahir di Semarang tahun 1947. Ia bukan hanya penulis dan penerjemah sastra, tetapi juga peneliti Imagologi—ilmu yang menelusuri pencitraan antarbangsa. Disertasinya di Universiteit van Amsterdam diterbitkan dengan judul Bukan Takdir: Kisah Pencitraan Orang Tionghoa di Nusantara (Ombak, 2021).
Di luar karya ilmiah, Inge juga seorang penyintas strok yang aktif mengampanyekan kesadaran tentang pentingnya deteksi dini dan penanganan cepat.
“Strok membuat saya lambat berbicara,” katanya sambil tersenyum, “tapi tidak membuat saya berhenti berpikir.”
Rumah Sebagai Spirit
Rumah Mataram 360 adalah cerminan Inge sendiri: lembut tapi kuat, sederhana tapi penuh makna. Dari dindingnya, tergantung lukisan-lukisan karya teman seniman, rak buku berisi sastra dunia, dan aroma kayu jati yang menyimpan sejarah keluarga.
Di rumah ini, seni bukan dipamerkan, tetapi dihidupi. Diskusi bukan acara formal, tetapi perbincangan batin.
“Rumah ini bukan museum,” ujarnya. “Ia harus hidup — dengan suara, tawa, dan pertanyaan.”
Dan memang, di bawah cahaya sore yang menguning, Rumah Mataram 360 terasa seperti hati yang berdetak — pelan tapi pasti, menghidupkan kembali semangat percakapan yang jujur, lembut, dan manusiawi. (*)