Oleh Christian Heru Cahyo Saputro, Redaktur Budaya SKH Sumater Post tinggal di Semarang.
Di ruang pameran Nandur Srawung, Taman Budaya Yogyakarta, sunyi tak pernah terasa sepadat ini. Di tengah sorotan lampu yang lembut, berdirilah sosok pemuda — bertelanjang dada, berjeans lusuh, duduk bersila dalam keheningan yang hidup. Dadanya naik-turun perlahan, seolah menarik napas dari udara yang sama dengan kita. Ia tidak bernyawa, tapi kita tahu, ia bernafas.
Karya Iwan Hasto berjudul “Neng Ning Nung Nang” adalah semacam mantra yang menjadi tubuh. Terinspirasi dari falsafah Ki Hadjar Dewantara, karya ini mengalir dari keheningan (neng), menuju kejernihan (ning), penyatuan (nung), hingga kemenangan batin (nang). Namun, di tangan Iwan, falsafah itu menjelma bukan sekadar konsep — ia menjelma pengalaman yang menggetarkan.
Dibentuk dari silikon yang nyaris menipu mata, patung ini berdiri dua kali ukuran manusia. Ketika penonton mendekat, sensor tersembunyi mengaktifkan gerak napas, menciptakan ilusi kehidupan yang menegangkan sekaligus lembut. Kadang, tanpa aba-aba, patung itu menunduk atau mendongak — gerak kecil yang mengguncang kesadaran. Dalam detik itu, antara kita dan patung, batas hidup dan tiruan seolah kabur.
“Saya ingin mengajak penonton eling,” ujar Iwan perlahan. “Kita ini benar-benar hidup, atau hanya bergerak karena program sosial dan budaya yang sudah terpasang di tubuh kita?”
Tubuh Urban dan Ruh Tradisi
Tak ada blangkon, tak ada jarik, tak ada simbol budaya yang kentara. Iwan memilih tubuh urban — telanjang dada, jeans, sederhana. Tapi justru di situ ruh tradisi Jawa bersembunyi: dalam neng, ning, nung, nang yang meresap pada napas dan kesadaran.
Patung ini adalah ruang hening di tengah dunia yang terus bising. Ia mengajarkan cara baru untuk “melihat”: bukan dengan mata, tapi dengan rasa. Dalam kebisuan patung itu, ada gema yang tak bisa dijelaskan, hanya bisa dialami.
Seni yang Menyentuh Kesadaran
Iwan tidak sedang membuat karya tentang manusia; ia sedang berbicara tentang menjadi manusia. “Neng Ning Nung Nang” adalah persimpangan antara filsafat Jawa, teknologi, dan kritik atas hiperrealitas masa kini.
Di era simulasi dan kecerdasan buatan, patung ini menatap balik pada kita — seolah bertanya: siapa sebenarnya yang lebih hidup?
Dengan medium silikon dan udara, Iwan Hasto memahat sesuatu yang lebih halus dari bentuk: kesadaran. Ia mengingatkan kita bahwa keheningan bukan sekadar diam, tapi ruang bagi jiwa untuk pulang.
Kembali ke Titik Hening: Jalan Pulang Iwan Hasto
Bagi Iwan, keikutsertaan di Nandur Srawung bukan sekadar pameran, melainkan ziarah artistik.
“Ini titik balik saya untuk kembali ke dunia seni rupa,” ujarnya di sela pameran, suaranya datar namun bergetar oleh tekad.
Setelah masa jeda panjang, ia kini kembali menyalakan bengkel seninya di kawasan Puspanjolo, Semarang — tempat di mana suara gergaji dan renungan berjalan beriringan. Dari ruang sunyi itu, ia tengah menyiapkan karya terbaru bertajuk “Kembali Pulang”, yang akan dipamerkan bersama Asosiasi Pematung Indonesia (API) pada akhir Oktober 2025.
“Kembali Pulang bukan sekadar kembali ke rumah,” katanya. “Ini tentang perjalanan batin, tentang menemu kembali nilai-nilai yang pernah kita tinggalkan.”
Karya baru itu digadang menjadi lanjutan spiritual dari “Neng Ning Nung Nang” — menelusuri kesadaran yang sama, tapi kini dengan nuansa refleksi dan penyembuhan. Dalam dunia yang bergerak tanpa jeda, pulang bagi Iwan adalah bentuk perlawanan: menolak tergesa, memilih hadir.
Dan di setiap napas patung yang diciptanya, ada bisikan yang sama: bahwa seni sejati bukan hanya tentang mencipta bentuk —tetapi tentang menghidupkan kesadaran.”Kembali Pulang ” juga bisa dimaknai menjadi perjalanan Iwan untuk kembali jalan sunyi menyusuri dunia seni rupa yang dirindukannya selama ini di tengah kiprahnya menjalani kehidupan. (*)