Oleh: Christian Heru Cahyo Saputro, Redaktur Budaya SKH Sumatera Post – Semarang
Semarang, malam yang lembut itu—Sabtu, 18 Oktober 2025—menghamparkan udara beraroma nostalgia. Di pelataran Gedung Ki Narto Sabdo Baru, lampu-lampu berpendar seperti kunang-kunang yang tersesat dalam doa. Ketika tirai panggung tersibak, waktu seolah berhenti, memberi jalan bagi legenda tua untuk bernafas kembali: Semar Mbangun Khayangan.
Malam itu, Wayang Orang Ngesti Pandowo bukan sekadar mementaskan kisah klasik. Mereka sedang membangun jembatan antara masa lalu dan masa kini, antara mitologi dan kenyataan, antara tawa dan air mata. Di bawah pengarahan Budi Lee, lakon yang telah hidup berabad-abad ini disulap menjadi refleksi kontemporer tentang kekuasaan, nurani, dan kebijaksanaan manusia.
Langit yang Retak dan Suara yang Hilang
Kisah bermula di kahyangan—alam para dewa—yang tak lagi tenteram. Bukan karena perang, melainkan karena retaknya nilai-nilai yang dulu dijaga dengan cinta. Para dewa kehilangan arah, saling berebut tahta, sementara hukum langit lumpuh dalam ambisi yang menua.
Di tengah kekacauan itu, muncullah Semar: sosok yang sering ditertawakan karena tubuhnya gemuk dan wajahnya jenaka. Namun malam itu, penonton tak lagi menertawakan Semar. Mereka diam. Karena di balik banyolannya, tersimpan suara kebenaran yang selama ini diabaikan.
Semar bukan ksatria, bukan pula dewa. Ia rakyat kecil—simbol kesederhanaan yang memendam kebijaksanaan sejati. Dalam tangan Budi Lee, Semar menjelma menjadi nurani kolektif: suara yang lahir dari penderitaan, kasih, dan pengabdian tanpa pamrih.
Panggung yang Menjadi Doa
Koreografi yang ditata oleh Paminto Krisna mengalir bagai mantra. Setiap gerak tubuh pemain bukan sekadar tarian, melainkan zikir tubuh—sebuah sembah dalam wujud estetika. Gamelan Githung Swara mengalun lembut, memantul di dinding teater, seolah setiap tabuhan saron dan kendang mengetuk pintu batin penonton.
Dialog para punakawan—Gareng, Petruk, dan Bagong—tak hanya memancing tawa, tapi juga menyentil kesadaran. Mereka menyinggung dunia yang carut-marut, manusia yang sibuk mencari kahyangan di luar dirinya, padahal kahyangan sejati bersemayam di hati.
Semar, dengan sabar dan kasih, membangun dunia bukan dari batu dan cahaya, tapi dari cinta dan pengertian. Ia mengingatkan bahwa dunia tak perlu diperbaiki dengan kekerasan, melainkan dengan kelembutan yang berani menundukkan ego.
Ketika Nurani Menyapa Kekuasaan
Usai pementasan, Budi Lee berbicara pelan, seolah tak ingin mengusik keheningan yang masih mengambang di udara: “Semar itu nurani. Ia sederhana tapi kuat. Dalam dunia kita yang semakin riuh, ia hadir untuk mengingatkan bahwa kekuasaan tanpa kebijaksanaan hanyalah jalan sunyi menuju kehancuran.”
Kata-kata itu menggema lebih lama dari tabir yang turun. Karena bukankah kita kini hidup di zaman ketika suara nurani sering ditinggalkan, digantikan oleh ambisi dan citra?
Dalam lakon itu, Semar bukan sekadar karakter pewayangan—ia menjadi cermin manusia modern yang kehilangan arah dalam mengejar langit kekuasaan.
Gedung yang Menyimpan Jiwa
Gedung Ki Narto Sabdo Baru malam itu seperti ikut bernapas. Setiap pilar, setiap kursi, dan setiap denting gamelan menjadi saksi bahwa tradisi belum mati—ia hanya menunggu dipanggil kembali dengan cinta.
Kepala Bidang Kebudayaan, Saroso, S.Sn, dalam sambutannya menegaskan komitmen pemerintah kota untuk menjaga bara itu tetap hidup:
“Wayang orang sudah menjadi kebanggaan Semarang sejak lama. Kami punya tanggung jawab menjaga dan menumbuhkannya, agar generasi muda bisa belajar, menikmati, dan merasa memiliki.”
Malam itu, di antara deretan penonton, hadir mahasiswa, seniman sepuh, keluarga muda, hingga anak-anak yang menatap panggung dengan mata berbinar. Mereka datang bukan sekadar untuk menonton, tapi berziarah kepada makna.
Membangun Kahyangan di Dalam Diri
Barangkali, Semar Mbangun Khayangan bukanlah kisah masa lalu. Ia adalah pesan dari masa depan—surat dari jiwa-jiwa arif yang meminta kita membaca ulang makna kehidupan.
Kahyangan yang dibangun Semar bukan istana para dewa, melainkan ruang batin manusia: tempat di mana kebenaran, kasih, dan kesederhanaan bisa hidup berdampingan.
Dan mungkin, di dunia yang semakin bising oleh ambisi dan citra, kita tak perlu menjadi dewa untuk membangun kahyangan. Cukuplah menjadi manusia yang mau mendengar, memahami, dan mengasihi.Karena dari panggung kecil di Semarang malam itu, Semar telah turun sekali lagi — bukan untuk membangun langit, tetapi untuk membangun kita.(*)




