Semarang — Kota Semarang, yang dikenal sebagai “Kota Atlas” karena keberagamannya, kekayaan sejarah, dan arsitektur peninggalan kolonial yang memesona, dinilai masih belum tergambarkan secara utuh dalam karya-karya sastra. Dalam acara Bincang Literasi 2025 yang digelar di kafe Oud En Nieuw, Kota Lama Semarang, Sabtu (18/10), para pegiat literasi menyoroti pentingnya menghadirkan Semarang bukan hanya sebagai latar cerita, tetapi sebagai jiwa dan sumber inspirasi utama karya sastra.
Samuel Wattimena, pendiri Sangkar Wiku Book Club, menyampaikan bahwa dari sekitar 17 buku yang secara khusus membahas Semarang, sebagian besar masih berupa kompilasi sejarah atau panduan wisata. “Belum ada yang berhasil menangkap denyut Semarang secara puitik dan personal,” ujar Samuel. Ia mengajak para penulis untuk mulai menulis Semarang dari dalam—dari lorong ingatan, dari obrolan warung kopi, dari jejak-jejak yang tertinggal di gang-gang tua Kota Lama.
Sementara itu, Gunoto Saparie Ketua Satupena Jawa Tengah, menyebut bahwa pihaknya telah memulai langkah dengan menerbitkan buku-buku yang mengangkat tokoh lokal dan fenomena khas Semarang. Dua di antaranya adalah “Mereka yang Berjuang untuk Semarang” dan antologi esai “Bencana dari Berbagai Perspektif”. “Tapi upaya ini masih awal. Kita butuh lebih banyak suara, lebih banyak warna dari penulis yang benar-benar mengenal denyut kota ini,” tegas Gunoto.
Dalam sesi pembacaan karya, Maya Dewi, Ketua Komunitas Diajeng Semarang, membacakan cerpen bertajuk “Kupu-Kupu Taman Bergota”. Cerpen tersebut menangkap suasana mistis sekaligus nostalgik Taman Bergota, salah satu kawasan bersejarah Semarang, dengan bahasa yang lembut dan imajinatif. Karya ini menjadi bukti bahwa sastra bisa menjadi jembatan yang menghubungkan masa lalu, masa kini, dan masa depan kota.
Acara yang dihadiri penulis muda, jurnalis, dan penggiat komunitas budaya ini menegaskan kembali pentingnya menjadikan Semarang bukan sekadar tempat kejadian, tetapi sebagai karakter hidup dalam narasi. “Kita butuh Semarang yang ditulis dengan cinta, marah, dan rindu—karena dari sanalah lahir sastra yang jujur,” tutup Samuel Wattimena.
Bincang Literasi 2025 menjadi pengingat bahwa sebuah kota tidak hanya dikenang lewat bangunan dan sejarahnya, tetapi juga lewat kata-kata yang ditulis untuk dan tentangnya. (*)




