Semarang, 26 Oktober 2025 — Di pelataran Gedung Ki Narto Sabdo, Taman Budaya Raden Saleh (TBRS) Semarang, Minggu sore berlangsung sebuah prosesi yang sarat makna: jamasan atau penyucian patung maestro karawitan dan pedalangan, Ki Narto Sabdo. Acara ini menjadi pembuka rangkaian peringatan Harmoni Seratus Tahun yang diselenggarakan untuk mengenang seratus tahun kelahiran sang maestro.
Prosesi dipimpin secara khidmat oleh dalang sepuh Ki Suradji, yang dengan penuh ketekunan memimpin ritual penyucian. Air jamasan disiramkan pelan ke patung perunggu Ki Narto Sabdo, disertai doa-doa dan tetabuhan gamelan lembut yang mengiringi sepanjang prosesi. Hadir pula sejumlah budayawan, mahasiswa seni, dan komunitas pecinta wayang yang turut larut dalam suasana sakral itu.
“Ini bukan sekadar menyiram patung, tapi menyiram kembali ingatan kita pada nilai-nilai luhur yang diwariskan Ki Narto,” ungkap Ki Suradji.
Ia menambahkan, semangat Ki Narto Sabdo bukan hanya hidup dalam gending dan sabetan wayang, tapi juga dalam cara masyarakat menghormati leluhurnya.
UKM Sangkakatama Universitas PGRI Semarang turut ambil bagian dalam prosesi ini. Dengan balutan busana adat dan sesaji simbolik, mereka menunjukkan keterlibatan generasi muda dalam menjaga keberlanjutan warisan budaya Jawa.
Patung Ki Narto Sabdo yang berdiri gagah di depan gedung bernama sama itu, kini tampak lebih bersinar—tak hanya oleh air jamasan, tetapi oleh semangat kebersamaan yang terpancar dari mereka yang hadir.
Jamasan ini menjadi pengingat bahwa menghormati tokoh budaya bukan hanya melalui kenangan, tetapi lewat tindakan nyata—menghidupkan kembali semangatnya di tengah masyarakat. Dan Semarang, senja itu, telah melakukannya dengan sepenuh jiwa.
Mahakarya Ki Narto Sabdo Menggema di UPGRIS
Pada Rabu 29 Oktober 202 mendatang, Balairung Universitas PGRI Semarang berubah menjadi ruang persembahan budaya yang penuh makna dalam gelaran “Harmoni Seratus Tahun”, pagelaran mahakarya yang didedikasikan untuk mengenang maestro karawitan dan pedalangan Indonesia, Ki Narto Sabdo. Acara bakal digelar sejak pukul 15.00 hingga 22.00 WIB ini menjadi ajang perayaan warisan seni budaya Jawa dalam wujud konser karawitan, gelar tari, dan wayangan kolosal.
Dibuka dengan tabuhan gamelan dan konser karawitan, atmosfer sore itu langsung menyentuh dimensi emosional hadirin. Nada-nada klasik yang pernah digubah Ki Narto kembali hidup di tangan para seniman muda, seolah sang maestro hadir kembali dalam tiap getar suara rebab dan gong.
Puncak acara ditandai dengan pergelaran wayang kulit bertajuk Tripama Kawedhar, lakon yang sarat nilai kepemimpinan, kebijaksanaan, dan etika. Tak tanggung-tanggung, empat dalang tampil membawakan cerita secara estafet: Ki Jagad Bilowo, Ki Mohammad Asy’Aril, Dr. Bambang Sulanjari, serta Danendra Dananjaya Djuanda & Dafandra Aradhana Djuanda.
Penulisan naskah dan iringan digarap oleh RT Suradji Hadi Kusumo Projo Dipuro, menjadikan pentas ini bukan hanya tontonan, melainkan tuntunan.
UKM Sangkatama Universitas PGRI Semarang sebagai penggagas acara ini, berhasil menghadirkan semangat kolaboratif antara maestro dan generasi penerus. Tanpa tiket masuk, pertunjukan ini terbuka untuk umum—sebuah pesan bahwa kesenian adalah milik semua, bukan hanya yang terpelajar, tapi juga rakyat yang mencintai warisan budayanya.
“Harmoni Seratus Tahun” tak sekadar peringatan. Ia adalah gema dari suara Ki Narto Sabdo yang tak pernah padam: bahwa seni bukan hanya estetika, melainkan juga etika dan dedikasi pada kebudayaan yang membentuk jati diri bangsa.
Tari-tarian pun tampil membawakan koreografi yang memadukan gerak klasik dengan sentuhan kontemporer. Tubuh-tubuh penari menjelma menjadi medium penghormatan: lentur, sakral, sekaligus penuh ekspresi cinta pada budaya yang diwariskan Ki Narto. (Chrisian Saputro)




