Yogyakarta, 26 Oktober 2025 — Di ruang putih Jogja Gallery yang tenang, waktu seolah melambat. Di antara patung-patung yang diam dan bayangan yang lembut menempel di dinding, ada sesuatu yang bergerak—bukan pada benda, melainkan pada rasa. “Paraliyan” tak hanya menghadirkan bentuk, tetapi juga perjalanan. Sebuah peristiwa seni yang menggugah batin, membuka kesadaran bahwa dalam setiap perubahan, selalu ada kisah yang menunggu dihayati.
Dibuka pada 24 Oktober hingga 2 November 2025, pameran Journey Sculpture Exhibition #4 ini mempertemukan lebih dari 40 pematung lintas generasi dari berbagai daerah di Indonesia. Nama-nama seperti Iwan Hasto, Albertho Wanma, Tugiman, Lenny Ratnasari Weichert, hingga Yusman, hadir membawa permenungan dan jejak spiritual masing-masing. Mereka seolah berbicara melalui bentuk—bukan dengan kata-kata, melainkan dengan keteguhan material dan keheningan yang dalam.
Tubuh yang Terus Menjadi
Dikuratori oleh Rain Rosidi, “Paraliyan”—yang dalam bahasa Jawa berarti bergeser atau berubah—menjadi refleksi tentang tubuh, ruang, dan keberadaan yang tak pernah tetap. Setiap karya di dalamnya seperti tubuh yang tengah berevolusi, menyimpan cerita tentang peralihan: dari gagasan menjadi bentuk, dari benda menjadi jiwa, dari seniman menuju semesta.
“Setiap karya di pameran ini adalah tapak perjalanan para pematung dalam menggali tubuh dan ruang di sekelilingnya,” ujar Rain Rosidi saat pembukaan. “Paraliyan adalah tubuh yang terus menjadi,” lanjutnya—sebuah pernyataan yang terasa seperti mantra bagi seluruh ruang galeri.
Dialog Sunyi antara Materi dan Makna
Patung-patung di ruang ini terbuat dari logam, kayu, terracotta, semen, hingga bahan temuan, namun masing-masing menolak untuk diam. Dalam keheningan, mereka berbicara tentang waktu, luka, dan pencarian. Beberapa tampak keras dan tegas, yang lain lembut dan mengalir—seperti tubuh manusia yang menyimpan kontradiksi antara kekuatan dan kerentanan.
Salah satu karya yang mencuri perhatian adalah “Kembali Pulang” karya Iwan Hasto dari Semarang. Instalasi interaktif berukuran besar ini menggabungkan plat galvanis, plat besi hitam, dinamo DC, dan roda gigi yang berputar pelan ketika tombol ditekan oleh pengunjung. Di sanalah, seni menjadi pengalaman: saat roda berputar, penonton bukan lagi pengamat, tapi bagian dari perjalanan itu sendiri.
Gerak mekanis dalam karya ini menandai siklus kehidupan—tentang berangkat dan pulang, tentang keberanian untuk berubah, tentang bagaimana setiap perjalanan tak pernah benar-benar berakhir. “Kembali Pulang” menjadi semacam doa visual: bahwa pulang tidak selalu berarti kembali ke tempat awal, tetapi menemukan diri yang telah berubah.
Ruang yang Menghidupkan Perenungan
Jogja Gallery, dengan arsitektur kolonialnya yang hangat, menjadi rumah yang pas bagi pameran ini. Di sini, cahaya jatuh lembut ke permukaan patung, menimbulkan bayang yang seolah bernapas. Para pengunjung berjalan perlahan, berhenti di depan satu karya, lalu berpindah dengan tatapan yang masih tertinggal. Tak ada hiruk pikuk—yang ada hanyalah percakapan batin antara manusia dan benda yang mengandung jiwa.
Tiket masuk Rp 20.000 terasa simbolis dibandingkan pengalaman yang ditawarkan: kesempatan untuk menyelami dunia para pematung Indonesia, untuk menyaksikan bagaimana keheningan bisa lebih fasih daripada kata-kata.
Perubahan sebagai Nafas Seni
“Paraliyan” bukan sekadar pameran seni patung. Ia adalah perayaan terhadap keberanian untuk berubah, terhadap pergulatan antara yang tetap dan yang sementara. Setiap karya menjadi pengingat bahwa dalam setiap pergeseran—baik pada bentuk maupun makna—seni menemukan kehidupannya.
Dan di Jogja Gallery yang teduh itu, perubahan bukan lagi sesuatu yang ditakuti, melainkan dirayakan. Sebab, seperti roda yang terus berputar, seni dan kehidupan sama-sama bergerak dalam irama yang abadi: lahir, tumbuh, bergeser, dan akhirnya… kembali pulang. (Christian Saputro)




