Oleh: Mecsa Hafilatul Fitri
Mahasiswa S2 Bioteknologi Universitas Andalas
Pertumbuhan populasi dunia yang terus meningkat membuat kebutuhan pangan melonjak tajam. Di sisi lain, lahan pertanian semakin terbatas dan tekanan terhadap lingkungan kian besar. Dalam konteks ini, sistem pertanian modern dituntut untuk lebih efisien dan berkelanjutan. Salah satu aspek penting yang mendapat perhatian besar adalah efisiensi penggunaan pupuk. Pupuk konvensional yang cepat larut memang mampu memberikan nutrisi instan bagi tanaman, namun sering kali penggunaannya tidak efisien. Sebagian besar unsur hara seperti nitrogen dan fosfor mudah hilang melalui pencucian, volatilisasi, atau erosi, sehingga bukan hanya menyebabkan pemborosan, tetapi juga mencemari lingkungan, menurunkan kualitas air, dan meningkatkan emisi gas rumah kaca.
Untuk mengatasi masalah tersebut, para ilmuwan mulai mengembangkan pupuk berjenis slow-release fertilizer (SRF) atau pupuk lepas lambat. Pupuk ini dirancang untuk melepaskan unsur hara secara perlahan dan terkontrol sesuai kebutuhan tanaman, sehingga efisiensi penyerapan nutrisi meningkat dan kehilangan nutrisi dapat diminimalkan. Seiring berkembangnya ilmu pengetahuan, muncul pendekatan baru berbasis nanobioteknologi yang menggabungkan keunggulan nanoteknologi dan bioteknologi untuk menciptakan generasi baru SRF yang lebih efektif dan ramah lingkungan.
Nanobioteknologi dalam bidang pupuk menggabungkan bahan berukuran nano (seperti nanopartikel mineral, nano-biochar, atau hidroksiapatit nano) dengan bahan biologis seperti biopolimer alami (misalnya kitosan, alginat, atau pati termodifikasi). Kombinasi ini membentuk sistem pembawa (carrier) atau pelapis (coating) yang mampu mengatur kecepatan pelepasan nutrisi. Partikel berukuran nanometer memiliki luas permukaan yang besar dan reaktivitas tinggi, sehingga mampu menahan serta melepas unsur hara secara lebih terkendali. Selain itu, penggunaan biopolimer biodegradable membuat pelapis pupuk dapat terurai secara alami oleh mikroorganisme tanah tanpa meninggalkan residu berbahaya.
Beberapa inovasi yang sudah dikembangkan di berbagai penelitian menunjukkan potensi besar teknologi ini. Misalnya, urea yang dilapisi dengan nano-biochar hasil pirolisis jerami atau sekam padi terbukti mampu memperlambat pelepasan nitrogen sekaligus meningkatkan kemampuan tanah dalam menahan air. Bahan alami seperti kitosan juga telah banyak digunakan untuk mengenkapsulasi unsur hara, karena selain mudah terurai, kitosan memiliki sifat antimikroba dan dapat menstimulasi pertumbuhan akar. Di sisi lain, nanopartikel hidroksiapatit (HAp) digunakan untuk melepaskan fosfor dan kalsium secara bertahap, sementara nanopartikel ZnO berperan sebagai sumber mikronutrien sekaligus meningkatkan aktivitas enzim tanaman.
Berbagai studi telah menunjukkan bahwa penggunaan SRF berbasis nanobioteknologi dapat meningkatkan efisiensi pemanfaatan nitrogen (NUE), menurunkan emisi amonia dan gas dinitrogen oksida (N₂O), serta mengurangi pencucian nitrat ke dalam air tanah. Selain itu, struktur tanah menjadi lebih baik karena penambahan bahan bio seperti biochar memperbaiki porositas dan kemampuan menahan air. Hasil-hasil tersebut menunjukkan bahwa nanobioteknologi mampu memberikan kontribusi besar terhadap pertanian berkelanjutan.
Namun demikian, pengembangan pupuk berbasis nanoteknologi juga menghadapi sejumlah tantangan serius. Salah satunya adalah masalah lingkungan yang timbul dari penggunaan pelapis sintetis berbasis plastik pada beberapa produk controlled-release fertilizer (CRF) komersial. Pelapis ini dapat terurai menjadi mikroplastik yang mencemari tanah dan perairan, sebagaimana diungkap dalam laporan The Guardian tahun 2025. Selain itu, risiko akumulasi partikel nano di tanah dan efek toksiknya terhadap mikroorganisme, cacing tanah, atau bahkan tanaman masih perlu diteliti lebih lanjut. Biaya produksi dan kesulitan dalam skala industri juga menjadi hambatan utama dalam komersialisasi teknologi ini.
Oleh karena itu, beberapa langkah direkomendasikan untuk masa depan. Pertama, penelitian harus difokuskan pada pengembangan pelapis biodegradable yang benar-benar aman bagi lingkungan, seperti biopolimer alami dan nanokomposit berbasis biochar. Kedua, diperlukan standar keselamatan dan regulasi yang jelas mengenai penggunaan bahan nano dalam pupuk pertanian, termasuk uji toksisitas dan pelaporan kandungan material. Ketiga, perlu dilakukan uji lapang jangka panjang di berbagai kondisi agroekosistem untuk memastikan efektivitas dan keamanan teknologi ini di dunia nyata. Terakhir, dukungan kebijakan seperti subsidi hijau atau insentif bagi petani yang menggunakan pupuk ramah lingkungan juga penting agar inovasi ini dapat diterapkan secara luas, tidak hanya oleh perusahaan besar atau petani dengan modal tinggi.
Secara keseluruhan, nanobioteknologi membuka peluang besar untuk menciptakan pupuk slow-release yang tidak hanya meningkatkan hasil panen tetapi juga menjaga keseimbangan lingkungan. Dengan integrasi sains, kebijakan, dan kesadaran masyarakat, pertanian masa depan dapat bergerak menuju sistem yang lebih efisien, hijau, dan berkelanjutan. Pupuk nanobioteknologi bukan sekadar inovasi, tetapi langkah nyata menuju pertanian cerdas yang berpihak pada bumi.
Sumber:
Beig, B., Niazi, M. B. K., Jahan, Z., & Bhat, A. H. (2022). Nanotechnology-based controlled release of sustainable fertilizers: A review. Environmental Chemistry Letters, 20(5), 3131–3154.
Demeke, E. D., Damtie, M. M., & Hailegiorgis, S. M. (2025). A comprehensive review on nano-fertilizers for sustainable agriculture. RSC Advances, 15(3), 1245–1261.
Goyal, A., Kumar, V., & Singh, J. (2025). Emerging trends and perspectives on nano-fertilizers for sustainable agriculture. Frontiers in Nanotechnology, 7(24), 112–129.
Kyebogola, S., Yu, Y., & Zhang, H. (2024). Greener production and application of slow-release fertilizers: Toward sustainable agriculture.
Sustainability, 16(9), 4512.
Li, X., Zhao, Y., & Chen, L. (2024). Global trends and current advances in slow/controlled release fertilizers. Agronomy, 14(5), 1024.
The Guardian. (2025, March 18). Controlled-release fertilizers can spread microplastics on US cropland — study. Retrieved from




