Pernyataan Resmi Benny N.A. Puspanegara
Pemerhati Kebijakan Hukum, Sosial, dan Publik Putra Lampung Barat
Sumaterapost.co | Lampung – Saya mengikuti dengan saksama kabar kematian Harimau Sumatera yang baru saja terjadi di kawasan Taman Hiburan Rakyat (THR) Lembah Hijau, Lampung, beberapa hari lalu. Kabar ini bukan sekadar peristiwa ekologis, melainkan juga cermin retak dari bagaimana kita memperlakukan alam dan kebijakan lingkungan di negeri sendiri.
Saya tidak ingin tergesa-gesa menunjuk siapa yang salah, karena proses hukum, etik, dan investigatif harus berjalan dengan data, bukan dengan emosi. Tetapi saya tidak bisa menahan diri untuk mengatakan bahwa kematian harimau-harimau ini adalah gejala dari penyakit lama yang tidak pernah disembuhkan penyakit keserakahan dan pembiaran.
Kita bisa saja berdebat soal prosedur penanganan, soal koordinasi antara TNBBS, BKSDA, dan pihak pengelola Lembah Hijau. Namun kalau mau jujur, masalah sesungguhnya bukan di situ. Akar masalahnya sudah lama tumbuh, di tempat yang sering tidak kita sebut: di ruang kebijakan pemerintah daerah yang dengan sadar mengubah fungsi hutan menjadi lahan-lahan berizin.
Dari lahan-lahan itu, mereka memungut pajak dan merasa berjasa karena menambah pendapatan daerah. Padahal, di saat yang sama, mereka menghapus rumah alami bagi Harimau Sumatera yang menjadi kebanggaan kita semua.
Sebagai putera Lampung Barat, saya tahu betul bagaimana wajah tanah ini berubah.
Hutan-hutan yang dulu menjadi tempat harimau berburu dan berkembang biak, kini tinggal potongan-potongan kecil di tengah kebun, kopi, dan ada pemukiman.
Lalu ketika harimau yang kehilangan wilayah jelajahnya turun ke kampung, kita buru dia, tangkap dia, bahkan kini mati pun dia masih kita salahkan.
Padahal, siapa sebenarnya yang memangsa siapa?
Mari kita bicara jujur. Harimau itu tidak pernah melanggar hukum alam.
Yang melanggar hukum baik hukum lingkungan, hukum tata ruang, maupun hukum moral justru kita, manusia, yang mengaku beradab tapi mengizinkan hutan dijual dengan tanda tangan dan stempel resmi.
Ketika habitat harimau dihancurkan, kematian mereka hanya menunggu giliran. Dan ketika giliran itu datang, kita pura-pura kaget, seolah ini bencana tak terduga.
Saya menaruh hormat kepada teman-teman di TNBBS, BKSDA, dan jajaran kehutanan yang bekerja di lapangan dengan segala keterbatasan. Saya tahu mereka bukan pembuat kebijakan, mereka hanya berjuang di antara tekanan politik, birokrasi, dan logika pembangunan yang sering tak berpihak pada alam. Namun sudah saatnya mereka juga berdiri lebih berani dan bersuara lebih keras, bukan hanya untuk harimau yang mati, tapi untuk hutan yang terus dirampas sedikit demi sedikit oleh kepentingan ekonomi sempit.
Kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, saya berharap langkah cepat dan transparan.
Publik berhak tahu penyebab kematian satwa dilindungi ini bukan untuk mencari siapa yang harus dihukum, tapi untuk menghentikan siklus salah urus yang terus berulang. Jangan lagi ada upaya menutup-nutupi fakta, karena setiap kebohongan birokratis hanya akan memperpanjang penderitaan ekosistem kita sendiri.
Dan kepada pemerintah daerah, khususnya Kabupaten Lampung Barat, saya ingin katakan dengan tegas:
Jangan lagi berpura-pura tidak tahu. Setiap izin pembukaan lahan, setiap perubahan fungsi hutan, setiap rupiah pajak yang diterima dari tanah yang dulunya kawasan lindung semuanya tercatat. Itu bukti kesadaran yang disengaja. Maka kalau kita bicara tanggung jawab, tanggung jawab itu tidak bisa diserahkan hanya kepada petugas di lapangan.
Ia harus dimulai dari meja tempat kebijakan dibuat meja para penguasa daerah yang menukar oksigen dengan uang retribusi.
Harimau Sumatera bukan sekadar satwa dilindungi. Ia adalah simbol keberanian, keseimbangan, dan kehormatan alam Sumatera. Bila harimau pun tak bisa hidup di hutan kita, apa yang tersisa dari harga diri ekologis bangsa ini?
Mari berhenti mengubur persoalan bersama bangkai harimau yang mati. Karena yang sesungguhnya sedang sekarat adalah nurani kita sendiri.
“Hutan yang hilang bisa ditanam kembali, tapi kehormatan pemerintah yang abai tidak bisa ditanam ulang.” (ndy).




