Dr. Hasbullah, M.Pd.I
Dosen Unviversitas Muhammadiyah Pringsewu
Sumaterapost.co.Di tengah hiruk pikuk apresiasi yang sering tercurah kepada sosok-sosok heroik di panggung politik, medan pertempuran, atau sektor ekonomi yang gemerlap, kita cenderung melupakan satu kelompok profesional yang berjuang dalam keheningan, namun dampaknya terasa hingga ke tulang sumsum masa depan bangsa yaitu para dosen. Merekalah yang setiap hari berada di garis depan pembangunan sumber daya manusia, pilar utama bagi kemajuan sebuah peradaban.
Menggelari dosen sebagai pahlawan bukanlah hiperbola yang berlebihan, melainkan pengakuan jujur atas perjuangan multidimensi mereka yang melampaui batas-batas definisi pekerjaan formal. Dosen adalah arsitek senyap peradaban; mereka tidak hanya mentransfer ilmu dari buku, tetapi juga menantang asumsi, menumbuhkan nalar kritis, dan membangkitkan rasa ingin tahu yang mendalam dalam diri mahasiswa, membentuk mereka menjadi profesional yang siap menghadapi kompleksitas dunia.
Perjuangan dosen mencakup seluruh spektrum Tri Dharma Perguruan Tinggi yaitu pendidikan, penelitian, dan pengabdian. Dalam peran sebagai pendidik, mereka adalah mentor dan penanam etika; dalam penelitian, mereka berjuang di garis depan ilmu pengetahuan untuk menghasilkan inovasi yang meningkatkan daya saing bangsa dan dalam pengabdian, mereka menjembatani menara gading kampus dengan kebutuhan riil masyarakat.
Sayangnya, perjuangan heroik ini sering terhalang oleh beban administrasi yang masif dan kebijakan yang terkadang kurang mendukung. Oleh karena itu, sudah sepatutnya kita menempatkan dosen pada posisi kehormatan yang layak. Dukungan sistemik dan apresiasi yang tulus adalah kunci agar para pahlawan intelektual ini dapat fokus pada tugas mereka yang sesungguhnya: memastikan ilmu pengetahuan berjalan lurus di jalur kebenaran dan menciptakan generasi penerus yang cerdas, inovatif, dan berintegritas.
Dosen Melampaui Definisi Mengajar
Fungsi primer dosen, yakni mengajar, hanyalah lapisan terluar dari peran esensial mereka. Dosen adalah arsitek pemikiran yang bertanggung jawab merancang kerangka berpikir kritis generasi penerus. Mereka tidak sekadar menyampaikan kurikulum yang telah ditetapkan atau memindahkan informasi dari buku ke benak mahasiswa. Lebih dari itu, mereka bertugas menantang dogma yang diterima, merangsang pertanyaan-pertanyaan filosofis, dan menumbuhkan nalar analitis yang memungkinkan mahasiswa membedakan fakta dari fiksi dan solusi dari ilusi.
Dalam ruang kuliah, dosen mengajarkan metodologi, bukan hanya jawaban. Mereka mendorong mahasiswa untuk menjadi pencari kebenaran independen, bukan sekadar pengikut. Proses ini adalah bentuk perjuangan kognitif yang intens. Mereka harus mampu menyajikan materi kompleks dengan cara yang inspiratif, menghubungkan teori yang abstrak dengan realitas praktis, dan memastikan bahwa ilmu yang diserap tidak hanya menetap di kepala, tetapi mengakar kuat dalam etika dan moral. Merekalah yang mengawal pembentukan karakter seorang profesional, mengubah remaja yang baru lulus sekolah menjadi sarjana yang bertanggung jawab dan berintegritas.
Dosen dengan Tiga Dharma dan Beban Ganda
Tanggung jawab heroik dosen terstruktur dalam tiga pilar Tri Dharma Perguruan Tinggi, yang sesungguhnya adalah tiga medan perang intelektual yang berbeda. Satu, Penelitian sebagai usaha Menarik Batas Ilmu Pengetahuan. Dosen modern dituntut menjadi ilmuwan yang kompetitif secara global. Peran ini menuntut mereka untuk terus-menerus melakukan penelitian yang menghasilkan inovasi dan pengetahuan baru. Mereka adalah mata dan telinga bangsa yang harus memonitor perkembangan sains dan teknologi dunia, lalu memproduksi publikasi bereputasi internasional. Setiap artikel jurnal, setiap paten, dan setiap penemuan adalah kontribusi nyata seorang dosen untuk meningkatkan indeks pembangunan ilmu pengetahuan dan daya saing nasional. Ini adalah perjuangan melawan keterbatasan dana, fasilitas, dan waktu, demi memastikan Indonesia tidak tertinggal dalam perlombaan intelektual global.
Dua, Pendidikan sebagai upaya Menciptakan Keunggulan Generasi. Selain transfer ilmu, pendidikan di perguruan tinggi adalah soal pembinaan kemanusiaan. Dosen harus menjadi mentor, konselor, dan role model. Di era digital saat ini, di mana informasi mudah diakses tetapi kebijaksanaan langka, dosen berperan vital dalam menyaring banjir informasi tersebut. Mereka mengajarkan mahasiswa cara belajar seumur hidup (lifelong learning), kemampuan adaptasi, dan yang paling krusial, ketahanan mental (resilience) untuk menghadapi dunia yang semakin tidak pasti. Pengabdian di kelas adalah penanaman benih jangka panjang yang tidak akan langsung terlihat hasilnya, namun esensial bagi kemakmuran 20 atau 30 tahun mendatang.
Tiga, Pengabdian sebagi jalan membumikan Ilmu. Seorang dosen adalah jembatan antara menara gading kampus dan realitas masyarakat. Tugas pengabdian menuntut mereka membawa temuan ilmiah ke tengah-tengah masyarakat, memecahkan masalah-masalah konkret di tingkat akar rumput mulai dari perancangan sistem irigasi yang efisien untuk petani hingga pelatihan digital untuk UMKM. Dengan demikian, dosen memastikan bahwa ilmu pengetahuan tidak menjadi komoditas eksklusif, melainkan alat demokratis yang dapat meningkatkan kualitas hidup seluruh lapisan masyarakat.
Dosen ditengah Ancaman Senyap dan Kelelahan Pahlawan
Ironisnya, kompleksitas peran ini seringkali tidak diimbangi dengan apresiasi dan dukungan sistemik yang memadai. Beban seorang dosen sering terbebani oleh birokrasi akademik yang masif. Mereka harus mengurus berbagai laporan akreditasi, mengisi puluhan formulir evaluasi kinerja, dan terjebak dalam siklus administrasi yang memakan waktu penelitian dan pengajaran. Energi yang seharusnya dicurahkan untuk membimbing tesis atau melakukan eksperimen berharga, justru terkuras habis untuk urusan kertas dan spreadsheet.
Selain itu, tantangan kesejahteraan sering menjadi isu yang tak terhindarkan. Meskipun sebagian dosen, terutama di perguruan tinggi negeri dengan status pegawai negeri sipil, memiliki jaminan dasar, banyak dosen kontrak atau yang berjuang di perguruan tinggi swasta menghadapi ketidakpastian finansial. Kondisi ini secara perlahan menggerus motivasi dan fokus, mengubah perjuangan idealis menjadi perjuangan pragmatis semata untuk bertahan hidup. Pahlawan-pahlawan intelektual ini, yang tugasnya adalah memikirkan masa depan bangsa, justru harus berkutat dengan kekhawatiran pribadi hari ini.
Mengakui dosen sebagai pahlawan intelektual adalah fondasi untuk transformasi pendidikan dan peradaban yang berkelanjutan. Pengakuan yang tulus ini harus diwujudkan dalam langkah-langkah konkret yang berorientasi pada kualitas dan keberlanjutan. Simplifikasi birokrasi menjadi keniscayaan, lewat reformasi sistem akreditasi dan evaluasi kinerja yang menitikberatkan pada dampak nyata proses pembelajaran dan riset, bukan sekadar kesesuaian dokumen administratif. Investasi berkelanjutan dalam riset ilmu pengetahuan adalah kunci demi menciptakan ekosistem akademik yang kreatif dan independen, yang memberi kebebasan penuh bagi dosen untuk berkarya dan berinovasi.
Selain itu, peningkatan kesejahteraan dosen dan jaminan karir yang jelas adalah wujud penghormatan terhadap profesionalisme dan dedikasi mereka, setara dengan standar internasional. Dosen bukan hanya pemikir dan pengajar, melainkan pionir peradaban, mereka menanamkan benih gagasan yang kelak berbuah menjadi penemuan ilmiah, kemajuan teknologi ramah lingkungan, serta tata kelola pemerintahan yang transparan dan berkeadilan. Mereka adalah garda terdepan dalam menjaga akal sehat bangsa sekaligus pengawal etika dan moralitas, sehingga pembangunan tidak hanya lahir dari inovasi fisik, melainkan juga dari pemikiran intelektual dan nilai-nilai keadaban yang mendalam.
Maka, sudah waktunya kita berhenti memandang dosen sebagai petugas kampus semata. Mereka adalah pahlawan sejati yang membentuk peradaban, satu penelitian pada satu waktu, satu bimbingan pada satu waktu, dan satu kelas pada satu waktu. Menghormati dosen berarti menghormati masa depan bangsa itu sendiri. Dosen adalah pahlawan sejati yang membentuk peradaban, satu kelas pada satu waktu. (ndy)




