Farco Siswiyanto Raharjo,S.Sos,M.Si
Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Slamet Riyadi Surakarta
Beberapa waktu yang lalu, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia merencanakan beberapa wilayah strategis nasional untuk pengembangan energi pembangkit listrik tenaga panas bumi (geothermal). Salah satu wilayah yang menjadi rencana sasaran adalah area Gunung Lawu, Jenawi, Kabupaten Karanganyar.
Rencana proyek strategis nasional geothermal yang akan di wilayah Jenawi dikhawatirkan memiliki dampak kerusakan ekologis yang besar. Hal ini dikomparasikan dengan praktik proyek geothermal yang ada di Indonesia sebanyak 19 wilayah dan 16 diantara nya memiliki problem ekologis yang serius.
Berangkat dari fakta yang terjadi, pengembangan proyek geothermal tidak di imbangi dengan studi mendalam disegala aspek. Masyarakat hanya dijanjikan lapangan pekerjaan diwilayah sekitar untuk perbaikan kesejahteraan ekonomi. Selanjutnya beberapa cara berpotensi dilakukan dengan menggiring opini dengan menggalang dukungan massa berbayar untuk mendukung proyek geothermal tersebut. Hal ini cukup mengkhawatirkan dampak yang ditimbulkan dikemudian hari.
Berdasarkan paradigma kebijakan publik, bahwa Pembuat kebijakan seringkali gagal merumuskan masalah yang salah, bukan karena solusi terhadap masalah yang benar. Hal ini disebabkan oleh kebijakan yang tidak akurat dalam mendefinisikan masalah yang ada, seringkali berfokus pada gejala daripada akar penyebab. Sehingga perspektif yang dihasilkan tidak tepat, bahkan aspirasi dari masyarakat tidak terakomodasi.
Melalui pernyataan dari kajian Trend Asia, kapasitas proyek geothermal di area gunung lawu, Jenawi, Karanganyar mencapai 86 megawatt. Memerlukan lahan 250 hektar, dan penggunaan air sebesar 16 juta liter perhari. Kondisi geografis wilayah Kecamatan Jenawi, tergolong kawasan rawan longsor. Maka rencana proyek strategis geothermal ini berpotensi menimbulkan kerusakan ekologis yang serius. Bahkan berpotensi lebih parah dengan bencana hidrologi.
Melalui perspektif pengembangan potensi daerah, setiap kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah tidak boleh bertentangan dengan kepentingan publik serta memperhatikan asas keberlanjutan terpeliharanya lingkungan. Pengembangan potensi daerah dibidang energi tidak boleh menimbulkan kerusakan dikemudian hari, apalagi sampai menghilangkan habitat asli flora dan fauna yang ada dikawasan tersebut.
Rencana pengembangan kawasan energi geothermal merupakan paradoks kebijakan publik, artinya terdapat ketimpangan antara cita-cita energi terbarukan dengan potensi kerusakan lingkungan yang besar. Kerusakan yang timbul diantaranya adalah penggundulan hutan dipegunungan, potensi kepunahan satwa karena hilangnya habitat, serta kerusakan pada aspek kesuburan tanah. Termasuk didalamnya adalah potensi munculnya bencana alam yang disebabkan okeh kegiatan eksploitasi tersebut, kemudian potensi terhadap peningkatan kejadian gempa mikro akibat pengeboran dan injeksi fluida.
Paradoks yang berikutnya adalah potensi munculnya konflik dengan masyarakat lokal. Termasuk didalamnya adalah persoalan pembebasan lahan. Meskipun hal ini disiasati dengan penetapan harga ganti rugi tanah bangunan dengan nominal yang tinggi, tidak menutup kemungkinan terjadi konflik sosial didalamnya. Hal ini sudah terjadi dibeberapa wilayah di Indonesia, konflik masyarakat terkait pembangunan geothermal. Wilayah konflik masyarakat akibat dari pembangunan geothermal tersebut terjadi di NTT, Sumatera dan Gunung Gede Jawa Barat.
Transparansi perizinan dan proses audit juga menjadi persoalan serius bagi rencana pembangunan proyek energi geothermal. Terdapat kemungkinan perizinan yang tidak transparan dan “top-down” (dari atas ke bawah) yang mengabaikan aspirasi masyarakat lokal. Ini menjadi sebuah paradoks yang terjadi, yakni ketimpangan antara seharusnya dan senyatanya.
Proyek geothermal ini dikaitkan dengan status sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN). Namun, status PSN tidak serta-merta menjamin bahwa semua aspek izin, lingkungan, sosial telah diselesaikan secara memadai dari perspektif lokal.
Jika proyek berjalan tanpa memenuhi kewajiban izin lingkungan, tanpa pengawasan yang memadai, atau melanggar peraturan, maka terdapat potensi dikenai sanksi administratif, serta ancaman gugatan dari masyarakat, bahkan konflik berkembang menjadi masalah yang lebih besar melalui meja pengadilan. Aktifis lingkungan juga berpotensi mendapatkan perlakuan kriminalisasi.
Berdasarkan fakta yang terjadi, maka pegembangan geothermal di Wilayah Gunung Lawu, Jenawi, Kabupaten Karanganyar lebih banyak dampak buruknya. Mulai dari kerusakan lingkungan, konflik sosial masyarakat, hingga potensi masalah hukum. Kita ketahui bersama gunung lawu merupakan salah satu penyangga ketersediaan air bersih dikabupaten karanganyar dan soloraya. Sehingga perlu dijaga bersama untuk kelestarian lingkungan.


