Dr. Hasbullah, M.Pd.I
Dosen Universitas Muhammadiyah Pringsewu
Ketua FoRDESI Wilayah Lampung
Sumaterapost.co | Pringsewu – Pendidikan adalah pilar utama kemajuan suatu bangsa dan menjadi fondasi pengembangan sumber daya manusia unggul. Di dalam proses pendidikan, guru dan dosen dengan istilah umum disebut pendidik berperan sebagai agen transformasi sosial sekaligus penjaga moral dan karakter generasi muda. Mereka sering disebut sebagai “pahlawan tanpa tanda jasa” yang membawa perubahan besar, meskipun tanpa sorotan atau penghargaan yang layak. Kualitas pendidikan yang baik sangat bergantung pada keberadaan pendidik yang profesional, aman secara psikologis, dan terlindungi secara hukum.
Namun, dalam beberapa tahun terakhir, posisi dan martabat pendidik justru semakin rentan. Banyak kasus yang terjadi di lapangan menunjukkan bahwa perlindungan terhadap guru dan dosen belum memadai. Kasus kriminalisasi guru yang dilakukan dalam konteks mendisiplinkan siswa, kekerasan yang dialami baik dari siswa maupun pihak luar, hingga intimidasi dan pelanggaran akademik di lingkungan perguruan tinggi menjadi alarm serius. Hal ini menimbulkan pertanyaan fundamental, apakah regulasi yang sudah ada saat ini, khususnya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, sudah cukup efektif melindungi pendidik? Ataukah diperlukan Undang-Undang khusus yang lebih komprehensif, kuat, dan tegas untuk menjamin perlindungan Guru dan Dosen di Indonesia?
Ancaman Terhadap Martabat dan Profesionalisme Pendidik
Dalam beberapa waktu terakhir, berbagai kasus yang menjadi perhatian publik telah membuka mata banyak pihak soal betapa rentannya posisi pendidik. Misalnya, kasus Guru Supriyani yang dikriminalisasi akibat mencoba mendisiplinkan siswa dengan tindakan ringan, dan kasus Ibu Khusnul Khotimah di Jombang yang dilaporkan dan menjadi tersangka karena tuduhan kelalaian dalam mengawasi siswa. Berawal dari peristiwa sederhana namun langsung berujung tindakan hukum yang berat, menunjukkan bahwa perlindungan hukum atas kelalaian tidak langsung dan definisi batas tanggung jawab guru dalam pengawasan siswa sangat diperlukan. Polemik seperti ini mengancam keberanian guru dalam menjalankan tugas mendidik dan menegakkan disiplin.
Dalam ranah perguruan tinggi, dosen juga tidak luput dari ancaman serius. Laporan dari beberapa organisasi seperti YLBHI menunjukkan adanya praktik intimidasi terhadap dosen yang memberi kritik terhadap kebijakan maupun figur politik. Ada pula kasus-kasus plagiarisme yang marak dan pelanggaran etik internal yang tidak tertangani secara adil karena belum ada mekanisme perlindungan dan penindakan yang independen bagi dosen pelapor (whistleblower). Hal ini berpotensi menimbulkan rasa takut untuk melakukan pengawasan dan kritik yang obyektif dalam dunia akademik.
Selain itu, masalah hukum dan sosial seringkali membuat batas antara tindakan mendisiplinkan dan kekerasan menjadi kabur. Hal ini menyebabkan pendidik yang seharusnya menegakkan disiplin konstruktif justru terjerat pasal pidana atau perdata. Fenomena ini menimbulkan efek gentar (chilling effect) di kalangan guru dan dosen sehingga mereka enggan mengambil tindakan tegas yang diperlukan demi kebaikan peserta didik.
Ancaman juga datang dari lingkungan internal. Kasus pelemparan benda berbahaya seperti bom rakitan di sekolah menengah dan kekerasan fisik maupun verbal yang dialami guru atau dosen menunjukkan bahwa lingkungan pendidikan tidak selalu aman. Di tingkat perguruan tinggi, kebebasan akademik juga kerap kali terancam oleh intervensi politik, pelecehan, atau intimidasi terkait penelitan dan pengajaran.
Tekanan dari sistem juga tidak kalah berat. Pendidik menghadapi beban administrasi yang sangat tinggi, tuntutan kurikulum yang sering berubah, serta jaminan kesejahteraan yang masih minim. Hal tersebut berpotensi menggerus motivasi sekaligus kualitas pengajaran, bahkan membahayakan kesehatan mental pendidik karena stres berkepanjangan.
Mengapa Regulasi Eksisting Belum Memadai?
Secara normatif, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen sudah mengatur bahwa pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, organisasi profesi, dan satuan pendidikan wajib memberikan perlindungan terhadap guru dan dosen. Pasal 39 ayat 2 secara eksplisit mencantumkan perlindungan hukum, profesi, keselamatan, dan kesehatan kerja. Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa ketentuan tersebut belum menjadi payung perlindungan yang cukup kokoh.
Salah satu akar permasalahan adalah terpecahnya regulasi dan tumpang tindihnya ketentuan yang ada, terutama dengan Undang-Undang Perlindungan Anak (UUPA). Tidak ada mekanisme jelas yang mengutamakan penyelesaian konflik dengan cara edukatif dan mediasi sebelum ditempuh proses pidana. Hal ini sering menimbulkan ketimpangan dan ketidakpastian hukum bagi guru dan dosen.
Selain itu, batasan-batasan tindakan profesional yang sah oleh guru belum dirinci secara jelas dan komprehensif dalam UU eksisting. Dijumpai kesulitan dalam mendefinisikan secara tegas di mana letak garis antara tindakan mendidik dan pelanggaran hak anak, sehingga ruang kriminalisasi menjadi lebar.
Jika melihat kondisi dosen, perlindungan yang dibutuhkan tidak hanya berkaitan dengan keamanan fisik, tetapi juga kebebasan akademik dan keprofesian. Dosen rentan terhadap tekanan politik dan institusional yang dapat menghambat tugas Tri Dharma Perguruan Tinggi. Masalah kekerasan seksual dan penyalahgunaan wewenang oleh guru besar di perguruan tinggi juga mengindikasikan perlunya regulasi yang tegas mengatur pencegahan dan penanganan kasus-kasus internal.
Pelaksanaan perlindungan saat ini sangat tergantung pada organisasi profesi seperti PGRI atau AFDESI yang memiliki cakupan dan otoritas terbatas. Perlunya lembaga independen dengan kewenangan hukum dan anggaran khusus yang dapat mengambil tindakan cepat dan efektif akan sangat membantu dalam menangani kasus secara profesional dan komprehensif.
Gagasan Utama dalam Undang-Undang Perlindungan Guru dan Dosen Baru
Undang-Undang Perlindungan Guru dan Dosen yang akan disusun harus bersifat holistik. Tidak hanya mengatur pasal normatif, tetapi juga menyediakan mekanisme pencegahan (preventif), penanganan sengketa dan perkara hukum (represif), serta pemulihan (rehabilitatif).
Pada aspek preventif, semua lembaga pendidikan harus diwajibkan mengimplementasikan kurikulum dan pelatihan disiplin positif yang menjadi standar baku. Ini bertujuan menggantikan metode pendisiplinan lama yang berisiko kekerasan. Selain itu, UU harus mengatur kewajiban kolaborasi antara sekolah/kampus, orang tua/wali, dan komite sekolah untuk menyamakan persepsi dan standar pendidikan serta pendisiplinan peserta didik.
Aspek hukum dan penyelesaian konflik harus mengutamakan proses investigasi mendalam yang melibatkan ahli pendidikan dan psikologi sebelum menetapkan status tersangka bagi guru atau dosen. Jalur mediasi dan penyelesaian perselisihan melalui lembaga perlindungan guru dan dosen (seperti Badan Perlindungan Pendidik dan Tenaga Kependidikan atau BPPPTK) harus diprioritaskan serta jalur pidana hanya sebagai upaya terakhir.
Perlindungan bagi dosen berupa pasal-pasal yang tegas menolak intervensi politik dan institusional juga sangat penting agar kebebasan akademik dapat terjamin dan proses pengajaran, penelitian, serta pengabdian masyarakat berjalan tanpa hambatan.
Dari aspek kesejahteraan dan profesionalisme, guru dan dosen yang menghadapi masalah hukum terkait profesinya harus mendapat bantuan hukum secara gratis dari negara atau lembaga khusus sejak tahap awal proses hukum. Sanksi berat juga harus diatur bagi pihak-pihak yang melakukan kekerasan fisik, verbal, atau intimidasi terhadap pendidik. Perhatian khusus perlu diberikan kepada kesejahteraan guru honorer agar mereka mendapat perlindungan sosial dan jaminan hidup yang memadai, memastikan fokus mereka tidak terpecah pada masalah finansial.
Tentu, pembentukan Undang-Undang Perlindungan Guru dan Dosen juga menghadapi tantangan. Salah satunya adalah persepsi publik yang takut UU ini menjadi alat bagi pendidik untuk bertindak sewenang-wenang tanpa batas. Oleh karena itu, rancangan Undang-Undang harus harmonis dengan regulasi lain seperti UU Perlindungan Anak dan UU Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (TPKS). Penyeimbangan antara hak pendidik untuk mendidik dan hak peserta didik untuk bebas dari perlakuan kekerasan adalah kunci utama.
Dengan hadirnya Undang-Undang khusus yang komprehensif dan implementatif, diharapkan kepercayaan publik terhadap profesi pendidik akan meningkat dan guru serta dosen merasa aman, terlindungi, dan termotivasi untuk melakukan tugas mulia mendidik generasi bangsa. Negara tidak boleh absen dalam hal ini karena perlindungan profesional pendidik adalah investasi jangka panjang bagi masa depan kualitas sumber daya manusia Indonesia.
Melihat berbagai kasus kriminalisasi, kekerasan, intimidasi, dan tekanan sistemik yang telah berlalu dan masih berlangsung, Indonesia benar-benar memerlukan Undang-Undang Perlindungan Guru dan Dosen yang baru, spesifik, kuat, dan mengikat. Regulasi ini harus menjadi lex specialis yang menjembatani benturan antara perlindungan hak anak dan martabat pendidik, sekaligus menegaskan bahwa profesi guru dan dosen adalah benteng pertahanan terakhir bagi masa depan bangsa yang cerdas dan bermartabat.(ndy)




