Oleh Christian Heru Cahyo Saputro, Jurnalis, Penyuka Film tinggal di Semarang
Hujan turun hampir tanpa jeda sejak sore, membasahi jalan-jalan Semarang dengan gemerisik yang bening dan panjang. Langit seolah menutup hari lebih cepat, tetapi cuaca muram itu tak mengurungkan langkah para penikmat film. Satu per satu, mereka muncul dari balik payung, menyusuri lantai-lantai basah Tentrem Mall menuju Cinema XXI—tempat bagi peristiwa budaya yang baru pertama kali singgah di Kota Lumpia: pembukaan Festival Sinema Prancis (FSP) 2025.
Di dalam bioskop, udara hangat dan pencahayaan lembut menciptakan suasana berbeda dari dunia yang hujan tinggalkan di luar. Kursi-kursi perlahan terisi, desis percakapan lembut saling bersahutan, menyimpan antusiasme yang mengalir seperti arus halus. Malam itu bukan sekadar pemutaran film; ia adalah pintu bagi sebuah perjumpaan budaya yang melintasi bahasa, geografi, bahkan musim.
Dentang lonceng yang dibunyikan M. Luthfi Eko Nugroho, ST., MT., Sekretaris Bappeda Kota Semarang yang mewakili Walikota, menjadi tanda dimulainya festival. Getaran suara logam itu menggema, seolah membuka tirai antara dua negeri yang dipersatukan oleh cahaya proyektor.
Jejak Diplomasi di Balik Layar
Melalui sambutan yang dibacakan Luthfi, Wali Kota Semarang Agustina Wiluyeng Pramestuti menyampaikan rasa bangga karena Semarang kembali dipercaya menjadi salah satu dari 14 kota penyelenggara FSP edisi ke-27.“Semoga kebudayaan, khususnya film, menjadi jembatan paling kuat yang melintasi batas bahasa dan negara,” tuturnya dalam pesan yang terasa hangat.
Baginya, festival ini lebih dari sekadar tontonan. Ia adalah ruang gerak bagi industri kreatif—sektor yang terus ia dorong sebagai motor pertumbuhan ekonomi kota. Dua puluh film Prancis yang hadir tahun ini, menurutnya, mampu memantik inspirasi baru bagi publik dan komunitas sinema lokal.
Dinamika itu juga diamini oleh Direktur Alliance Française (AF) Semarang, Dra. Kiki Martaty. Baginya, hadirnya festival ini di Semarang adalah bukti bahwa kota ini sedang bergerak, meretas batas-batas baru dalam percakapan budaya.
“Film-film ini bukan hanya tontonan, tetapi ruang refleksi dan pertemuan gagasan,” ujarnya, menandaskan bahwa sinema kerap menjadi medium paling jujur dalam melihat dunia.
AF Semarang tak berjalan sendiri. Festival ini tumbuh melalui kolaborasi: Dekase, Sineroom, Hysteria, Eling Cinema, SMA Kolese Loyola, Binus University, Taman Budaya Raden Saleh, hingga Rumah PoHan turut menjalin energi. Jejaring ini menjadi bukti bahwa Semarang tengah mempersiapkan dirinya sebagai kota kreatif yang memandang dunia dengan cara baru.
Satu Layar untuk Dua Budaya
Ketua Pelaksana FSP Semarang 2025, Haryandi Widajaya, memaknai festival ini sebagai diplomasi budaya yang bergerak halus.“Dari Paris hingga Kota Lama Semarang,” katanya, “sinema menghubungkan emosi, cerita, dan pandangan masa depan.”
Dan malam itu, jembatan budaya itu dimulai dengan pemutaran film 13 jours 13 nuits. Berlatar jatuhnya Kabul pada 2021, film tersebut membawa penonton pada kisah manusia yang dipaksa menghadapi ketakutan, keberanian, dan pilihan-pilihan yang menuntut keberanian moral. Cerita yang digulirkan terasa dekat, meski berlatar ribuan kilometer dari Semarang—itulah kekuatan sinema: ia menyentuh inti manusia, bukan sekadar identitasnya.
Lampu-lampu padam, dan layar menyala. Hening menyelimuti biskop, seolah semua suara dunia ditinggalkan di luar. Yang tersisa hanyalah narasi perjuangan, wajah-wajah manusia, dan detak yang menegaskan bahwa kemanusiaan selalu menemukan cara untuk berbicara.
Semarang dalam Peta Sinema Dunia
Selama festival, ragam film dari yang klasik hingga kontemporer akan hadir: À bout de souffle, Le Mépris, Les Quatre Cents Coups, Rosalie, Petit Vampire, Vermines, hingga L’Homme d’argile. Masing-masing membawa warna dan latar berbeda, menjadi mozaik sinema Prancis yang kaya.
Tahun ini, FSP juga menjadi bagian dari perayaan 75 tahun hubungan diplomatik Prancis–Indonesia—sebuah momentum yang menegaskan bahwa budaya tetap menjadi jembatan paling humanis antara bangsa. Hadir pula Marissa Anita sebagai Duta Festival dan sutradara Joko Anwar sebagai tamu kehormatan, memperkuat hubungan antara dua tradisi sinema besar.
Semarang pun meneguhkan posisinya: bukan sekadar kota yang menyelenggarakan festival, tetapi kota yang mulai membaca dunia melalui layar lebar. Dari ruang-ruang komunitas hingga gedung bioskop, sinema kembali menemukan rumahnya—rumah yang merangkul keberagaman, dialog, dan imajinasi.
Ketika Hujan Reda, Cahaya Tetap Menyala
Ketika penonton keluar dari bioskop, hujan di luar telah mereda. Jalanan masih mengilap, seperti memantulkan cahaya-cahaya kecil dari festival yang baru dimulai. Malam terasa hangat, bukan oleh udara, melainkan oleh perasaan bahwa sebuah perjumpaan baru saja terjadi.
Dalam langkah-langkah yang kembali pulang, sinema telah membuka ruang dialog yang lembut—antara dua budaya, dua kota, dua cara melihat dunia. Di Semarang, malam itu, layar lebar bukan sekadar hiburan, tetapi sebuah jendela yang mempertemukan masa lalu, kini, dan masa depan dalam satu bingkai cahaya.(*)




