Oleh: Yokhebed Arumdika Probosambodo, S.H, M.H
Dosen Fakultas Hukum Universitas Slamet Riyadi
Di era digital ini, dunia media sosial telah berubah menjadi pasar besar tanpa batas. Setiap detik, ribuan konten baru lahir dari unggahan lucu, edukatif, hingga ajakan yang paling menggoda: “Ikuti giveaway, menangkan hadiah menarik!”
Fenomena ini tampak sepele, bahkan menyenangkan. Siapa yang tidak tertarik dengan hadiah gratis? Kita hanya perlu mengikuti akun tertentu, menandai beberapa teman, dan menulis komentar positif lalu berharap keberuntungan berpihak. Namun, di balik keceriaan dunia maya yang tampak sederhana itu, tersembunyi dilema hukum yang jarang disadari public yaitu apakah semua giveaway dan undian online itu sah secara hukum atau justru tanpa sadar kita sedang bermain di wilayah abu-abu antara promosi dan perjudian?
Budaya giveaway tumbuh dari dua hal yaitu niat baik dan strategi bisnis. Di satu sisi, banyak konten kreator ingin berbagi rezeki dengan pengikutnya sebagai bentuk apresiasi. Namun di sisi lain, ada strategi pemasaran terselubung dengan meningkatkan engagement, menambah followers, atau memperluas jangkauan merek.
Bagi dunia usaha, giveaway adalah alat promosi yang luar biasa murah dibanding iklan konvensional. Sebuah akun bisnis bisa mendapatkan ribuan pengikut baru hanya dengan satu hadiah senilai ratusan ribu rupiah. Namun, karena tren ini berkembang cepat tanpa regulasi yang jelas, banyak pelaku yang tidak memahami batas-batas hukumnya. Akhirnya, muncul berbagai bentuk pelanggaran seperti undian berbayar berkedok donasi, penipuan giveaway palsu atas nama artis hingga pengumpulan data pribadi dengan dalih pendaftaran peserta. Fenomena ini menunjukkan satu hal penting dimana hukum belum sepenuhnya hadir di ruang digital yang semakin kompleks.
Indonesia tidak melarang undian atau kegiatan berhadiah tetapi mengaturnya dengan ketat.
Ada beberapa peraturan yang menjadi dasar:
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Dimana melarang segala bentuk perjudian, termasuk permainan yang hasilnya bergantung pada nasib semata dan melibatkan taruhan uang serta menjerat pihak yang menjanjikan hadiah palsu atau menipu peserta dengan dalih giveaway.
Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dimana mengatur kewajiban pelaku usaha untuk bersikap jujur dan transparan dalam promosi berhadiah.
Peraturan Menteri Sosial No. 14 Tahun 2016 tentang Izin Undian Gratis Berhadiah yang menyebutkan bahwa setiap kegiatan undian, meskipun gratis, harus mendapat izin dari Kementerian Sosial. Tujuannya agar penyelenggara terverifikasi dan pemenang benar-benar mendapatkan hadiah yang dijanjikan.
Undang-Undnag No. 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi yang melindungi peserta dari pengumpulan dan penyalahgunaan data oleh pihak tak bertanggung jawab.
Sayangnya sebagian besar penyelenggara giveaway di media sosial tidak memahami atau mengurus izin tersebut. Banyak yang menganggap karena hadiah gratis dan tidak ada uang yang keluar, maka tidak ada masalah hukum. Padahal, secara administratif, kegiatan undian tetap termasuk kategori promosi publik yang wajib memenuhi syarat hukum tertentu.
Masalah muncul ketika penyelenggara menambahkan unsur transaksi uang. Misalnya: “Transfer Rp10.000 untuk ikut undian hadiah iPhone.” Di sinilah giveaway berubah wujud menjadi permainan untung-untungan berbayar, yang dalam kacamata hukum bisa masuk kategori perjudian. Walaupun tidak dilakukan di kasino atau meja taruhan, prinsipnya sama dimana peserta membayar sejumlah uang tanpa jaminan hasil, dengan harapan memenangkan sesuatu secara acak.
Pasal 303 KUHP sudah cukup tegas melarang praktik seperti ini, meski dikemas dalam bentuk digital.
Selain itu, muncul pula modus baru giveaway donasi dimana peserta diminta berdonasi untuk kegiatan sosial, lalu dijanjikan kesempatan memenangkan hadiah. Sekilas tampak mulia, namun jika unsur “peluang menang” masih berbasis keberuntungan, tetap saja berpotensi melanggar hukum. Media sosial juga melahirkan wajah gelap dari giveaway penipuan. Modusnya beragam, tapi selalu memanfaatkan antusiasme masyarakat terhadap hadiah gratis.
KContoh paling sering misalnya seseorang menerima pesan di Instagram atau WhatsApp,
“Selamat! Anda pemenang giveaway Rp5 juta dari akun selebritas X.” Setelah itu, pelaku meminta biaya administrasi untuk pencairan hadiah. Begitu uang ditransfer, akun tersebut menghilang.
Secara hukum, tindakan ini memenuhi unsur penipuan online (Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Informasi dan Tranksaksi Elektronik juncto Pasal 478 KUHP).
Pelaku memanfaatkan kepercayaan publik dan nama besar orang lain untuk meraup keuntungan pribadi. Namun masalah tidak berhenti di sana. Ada pula penyelenggara asli yang tidak menepati janji Dimana hadiah tidak dikirim, pemenang tidak diumumkan. Meski kelihatannya remeh, itu bisa dianggap wanprestasi (pelanggaran perjanjian), karena peserta sudah memenuhi syarat yang diminta. Dalam kacamata hukum perdata, penyelenggara bertanggung jawab memenuhi janji sebagaimana tercantum dalam pengumuman giveaway.
Selain penipuan, ancaman lain yang tak kalah berbahaya adalah penyalahgunaan data pribadi.
Banyak giveaway meminta peserta mengisi formulir berisi nama, alamat, nomor HP, hingga foto KTP.
Tanpa disadari, data ini kemudian dijual ke pihak ketiga untuk kepentingan komersial.
Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) jelas menyatakan bahwa setiap pengumpulan dan pemrosesan data harus berdasarkan persetujuan yang sah dan tujuan yang jelas. Artinya, penyelenggara giveaway tidak bisa semena-mena mengumpulkan data di luar konteks pemberian hadiah. Dalam praktiknya, masih banyak akun promosi yang mengabaikan ketentuan ini bahkan ada yang menjadikan data peserta sebagai komoditas bisnis.
Salah satu penyebab utama maraknya giveaway bermasalah adalah minimnya pengawasan dan literasi hukum digital. Kementerian Sosial, misalnya, memang memiliki aturan izin undian, tetapi penerapannya belum menyentuh ranah media sosial yang bergerak sangat cepat.
Sementara itu, kepolisian biasanya baru turun tangan ketika sudah terjadi penipuan dan korban melapor. Penegakan hukum di dunia digital memang cukup rumit dimana terdapat kondisi akun bisa anonim, bukti mudah dihapus, dan pelaku sering beroperasi lintas daerah. Di sinilah pentingnya edukasi hukum preventif. Masyarakat harus dilatih untuk mengenali tanda-tanda pelanggaran sebelum menjadi korban. Pemerintah sebaiknya mempertimbangkan aturan turunan yang secara spesifik mengatur promosi digital dan giveaway online, sehingga tidak lagi bergantung pada interpretasi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau peraturan lama yang lahir di era sebelum media sosial. Giveaway seharusnya menjadi bentuk kebaikan, bukan jebakan. Namun, hukum mengingatkan bahwa niat baik tidak selalu berarti tindakan benar. Dalam pandangan hukum, bukan maksud yang dihitung, tapi akibat dari perbuatan.
Artinya jika niat berbagi berubah menjadi ajang manipulasi, maka hukum tetap berhak turun tangan.
Sebaliknya, penyelenggara yang jujur, terbuka dan menghormati aturan justru memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap ekosistem digital. Kita semua sebagai warga digital punya tanggung jawab moral dan hukum untuk menjaga ruang maya tetap sehat. Bagi influencer dan pelaku usaha, memahami hukum bukanlah beban, melainkan bentuk profesionalisme. Dan bagi masyarakat, kehati-hatian bukan berarti curiga berlebihan, melainkan wujud kecerdasan dalam memahami hukum.
Di dunia yang serba cepat ini, like dan share sering kali lebih menarik daripada membaca syarat dan ketentuan. Namun, justru di situlah letak persoalannya karena hukum tidak bergerak secepat jempol manusia. Fenomena giveaway dan undian online seharusnya menjadi pengingat bahwa hukum bukan hanya urusan gedung pengadilan, tetapi juga urusan keseharian di layar ponsel kita.
Mungkin kita tidak sedang berjudi di kasino, tapi jika kita mempertaruhkan uang untuk peluang semu di media sosial, maka secara hukum kita tetap sedang berjudi. Dan jika kita menjanjikan hadiah tapi tidak menepatinya, maka kita bukan sedang berbagi, melainkan sedang menipu harapan orang lain. Hukum tidak melarang kebahagiaan digital, tapi hukum menuntut agar kebahagiaan itu dibangun di atas kejujuran, transparansi, dan tanggung jawab. Sebab, di dunia yang semakin maya ini, kebaikan digital pun tetap harus berpijak pada hukum yang nyata.




