Oleh: Christian Heru Cahyo Saputro
untuk drg. Grace Widjaya Susanto
Di lorong waktu yang tidak pernah tergesa,
seorang perempuan berjalan—
langkahnya ringan,
tapi jejaknya menetap dalam tanah budaya.
Namanya Grace.
Seorang dokter gigi, ya, tapi juga penulis,
penjaga akar, penenun makna,
di mana setiap huruf dan tindakan
adalah doa dan dedikasi.
Yogyakarta, masa kecil yang teduh,
angin dari utara membawa bau tanah
dan kidung gamelan dari kejauhan.
Di situlah hatinya mulai mengerti
bahwa hidup bukan hanya tentang ilmu,
tapi juga tentang rasa dan warisan jiwa.
Ia tak sekadar bersekolah,
ia mendengar desir bambu,
ia meraba kasih desa,
ia menyapa pagi dengan Pramuka dan sapa kampung.
Lalu Jakarta, 1983.
Gelarnya tercetak: dokter gigi.
Tapi di balik senyum klinis,
ada hati yang tetap rindu
pada semilir kearifan yang tumbuh dari sawah dan pasar.
Semarang memanggil.
Dan ia menjawab bukan hanya dengan ilmu,
tapi juga kampanye halus
tentang “mlaku thimik-thimik”:
langkah pelan yang penuh kesadaran
menuju perubahan yang berakar.
Di Merby Centre,
anak-anak belajar menyulam logika dan budaya,
karena ia percaya:
pendidikan sejati adalah yang
membentuk kepala, tangan, dan hati sekaligus.
Bersama Prof. Hardhono, belahan jiwanya,
mereka bukan pasangan kota.
Mereka adalah penjelajah desa—
mencatat senyum nenek di serambi,
merekam bahasa lisan yang nyaris hilang,
membawa pulang warisan ke ruang-ruang modern.
Di atas panggung Wayang Orang,
ia adalah Dewi Kunthi—tegar namun penuh kasih,
Dewarimbi yang bersahaja,
Srikandi yang berani namun beretika.
Menulis menjadi napas,
bukan sekadar profesi.
Dari kesehatan ke kebudayaan,
dari parenting ke religiositas,
tulisannya adalah aliran sungai
yang menghidupi tanah pengetahuan.
“Kawula mung saderma, mobah mosik kersane Sang Hyang Sukma,”
ujarnya lirih—
sebuah filosofi yang menjadikan karya
bukan milik ego,
tapi persembahan untuk Sang Sumber dan tanah airnya.
Grace bukan hanya nama,
ia adalah gema.
Dari beringin tua hingga sekolah dasar,
dari artikel koran hingga panggung budaya,
ia hadir sebagai jembatan—
antara dulu dan nanti,
antara tradisi dan masa depan.
Dan setiap kali ia melangkah,
meski pelan dan senyap,
kita tahu:
bumi bergetar sedikit,
budaya tersenyum,
dan Indonesia menjadi lebih utuh.
Semarang, 23 November 2025
Referensi: Buku Mlaku Thimik Thimik, karya drg.Grace Widjaya Susanto.




