Semarang — Pemutaran film Le Mépris di Rumah Pohan, Kamis (27/11), menjadi bukti nyata bagaimana sinema mampu merangkai perjumpaan lintas budaya. Kegiatan yang digelar dalam rangkaian Festival Sinema Prancis 2025 itu sekaligus menandai kolaborasi hangat antara komunitas film Sineroom Semarang dan Alliance Française (AF) Semarang.
Selepas senja, Rumah Pohan mulai dipadati para pegiat seni, mahasiswa, hingga warga umum yang penasaran menyaksikan salah satu karya klasik Jean-Luc Godard. Film yang dikenal luas sebagai tonggak sinema Prancis modern itu ditayangkan dalam suasana akrab dan santai, namun tetap menghadirkan pengalaman apresiasi yang serius.
Ketua Sineroom Semarang, Ardian Agil Waskito, menilai kegiatan ini bukan sekadar pemutaran film, melainkan kesempatan memperluas cakrawala penonton lokal terhadap dunia sinema.
“Sinema adalah jembatan antara ide, emosi, dan identitas,” ujarnya. Ardian menambahkan, kerja sama dengan AF Semarang memberi warna baru bagi ekosistem perfilman independen di kota Semarang. “Kami berterima kasih atas kolaborasi yang memperkaya ruang bertemu bagi para pencinta film.”
Sementara itu, dari sisi penyelenggara, Direktur AF Semarang, Dra. Kiki Martaty, menegaskan pentingnya menghadirkan sinema dunia sebagai bagian dari edukasi budaya. Ia menilai komunitas film lokal memiliki peran strategis dalam memperluas akses dan memperdalam pemahaman publik tentang ragam sinema.
“Kami ingin sinema menjadi ruang perjumpaan budaya. ” Kolaborasi ini membuktikan potensi besar komunitas lokal untuk bergerak bersama memajukan literasi budaya. ujarnya.
Usai pemutaran film, diskusi singkat berlangsung antusias. Sejumlah peserta menyoroti gaya penyutradaraan Godard, kekuatan visual film, hingga simbol-simbol yang menjadi ciri khas sinema Prancis era 1960-an. Momen itu menghadirkan pengalaman berbeda, terutama bagi penonton yang baru pertama kali bersentuhan dengan film-film Prancis klasik.
Kegiatan ini merupakan bagian dari upaya Sineroom dan AF Semarang untuk menghidupkan kembali budaya menonton bersama serta memperkuat ruang diskusi sinema di kota Semarang. Melalui rangkaian Festival Sinema Prancis, keduanya berharap bisa menumbuhkan kebiasaan menonton yang lebih kritis, inklusif, dan menghargai keberagaman perspektif.
Dengan antusiasme yang terlihat pada malam itu, kolaborasi Sineroom dan AF Semarang dipandang mampu membuka peluang lebih luas bagi kegiatan pemutaran film, lokakarya, hingga diskusi budaya di masa mendatang. Semarang perlahan menunjukkan bahwa kota ini bukan hanya ruang produksi seni, tetapi juga ruang perjumpaan bagi berbagai gagasan global yang dipertemukan lewat sinema. (Christian Saputro)




