Oleh Christian Heru Cahyo Saputro, Jurnalis penyuka seni budaya tinggal di Semarang.
Pada suatu malam yang lembut di Gedung Ki Narto Sabdo, Taman Budaya Raden Saleh, panggung yang selama puluhan tahun menjadi rumah bagi tradisi Jawa itu kembali berpendar. Bukan sekadar lampu atau dekorasi, melainkan getaran yang datang dari kedalaman masa lalu—sebuah napas panjang kebudayaan—yang dihidupkan kembali oleh komunitas wayang orang legendaris Ngesti Pandowo melalui pementasan kontemporer “Sang Bima”.
Di tengah ruang yang hening namun sarat harap, fragmen ini dimulai dengan narasi puitis:
“Yang Terpilih dan Terkasih, Kokoh bagai tonggak di tengah samudra… Dialah Sang Bima.”
Kata-kata itu mengalir seperti mantra, membuka tirai antara dunia sejarah dan dunia imajinasi, menghadirkan Bima bukan sekadar tokoh pewayangan, tetapi sosok manusia yang tengah mencari makna tertinggi tentang keberadaan.
Tradisi yang Bergerak, Warisan yang Bernapas
Di bawah arahan Budi Lee, Sang Bima menjelma sebagai pertunjukan yang melampaui batas-batas pakem. Musik garapan Githung Swara tidak lagi hanya menjadi pengiring, tetapi denyut nadi yang menghidupkan gerak. Koreografi Paminto Krisna menari di antara dua dunia: tradisional yang berakar kuat, dan kontemporer yang berani membuka ruang baru.
Perpaduan itu menciptakan visual dramatik yang nyaris ritualistik—seolah penonton diajak memasuki ruang batin Bima, mendengar detak jantungnya, merasakan gelisah sekaligus keteguhannya.
Perjalanan Ksatria Menuju Terang
Fragmen “Sang Bima” menggarap perjalanan ikonik: perintah guru yang membawanya menghadapi tipu daya Kurawa, pencarian Kayu Gung Susuhing Angin dan Air Perwita Sari, hingga perjumpaan metafisik dengan Dewa Ruci.
Di tangan Ngesti Pandowo, perjalanan itu bukan sekadar kisah kepahlawanan. Ia menjadi tamasya spiritual—semacam cermin bagi siapa pun yang pernah bergulat dengan diri sendiri. Tatkala Bima akhirnya menyelam ke tubuh Dewa Ruci, penonton seakan ikut tenggelam dalam keheningan paling murni, tempat segala ambisi diluruhkan menjadi kesadaran tunggal: Sangkan Paraning Dumadi.
Itulah inti yang disuarakan pementasan ini. Bahwa kekuatan sejati bukan pada genggaman otot, melainkan pada kejernihan hati.
Welas Asih Sebagai Senjata Paling Kuat
Pementasan ditutup dengan kalimat yang menyeberangi zaman:
“Sura dira jayaningrat lebur dening pangastuti.”
Keperkasaan sebesar apa pun akan luruh oleh kasih sayang.
Di tengah dunia yang serba tergesa, pesan itu terasa seperti oase—lembut, namun menghunjam. Dan di bawah lampu panggung yang perlahan meredup, penonton menyadari bahwa kisah Bima bukan sekadar cerita lama: ia adalah pengingat bahwa manusia selalu berada dalam perjalanan panjang menuju dirinya sendiri.
Ngesti Pandowo dan Cahaya yang Tak Pernah Padam
Lewat “Sang Bima”, Ngesti Pandowo kembali membuktikan bahwa wayang orang bukan tinggalan museum. Ia hidup, bergerak, dan bertumbuh—sepanjang ada seniman yang merawatnya, dan penonton yang mempercayai bahwa kearifan lokal adalah sumber kekuatan sejati.
Di malam itu, TBRS bukan hanya menjadi gedung pertunjukan. Ia menjelma menjadi ruang pertemuan antara masa lalu dan masa kini, antara tradisi yang arif dan inovasi yang berani. Dan di tengah ruang itu, Bima berdiri: kokoh, tegas, namun penuh cahaya.
Karena ada hal-hal yang tak akan pernah benar-benar hilang—selama masih ada panggung, seniman, dan jiwa-jiwa yang bersedia mendengarkan. (*)




