Dr. Hasbullah, M. Pd. I
Peserta Sertifikasi Petugas Manasik Haji Profesional angkatan 1 Tahun 2025 UIN Walisongo Semarang
Sumaterapost.co.Setiap musim haji, jutaan manusia memenuhi padang Arafah, melempar jumrah di Mina, dan mengitari Ka’bah (thawaf) dengan hati yang dipenuhi rindu dan harap. Ibadah haji selalu menjadi momen spiritual terbesar dalam hidup seorang muslim. Namun di balik keagungan ritual itu, ada kenyataan yang tak dapat diabaikan. Kompleksitas penyelenggaraan haji terus bertambah, jumlah jamaah kian meningkat, dan kondisi fisik jamaah khususnya dari Indonesia semakin beragam. Di titik inilah gagasan moderasi haji menjadi relevan, bukan hanya sebagai pendekatan fikih, tetapi juga sebagai strategi kebijakan publik yang menempatkan kemudahan dan keselamatan jamaah sebagai prioritas utama.
Moderasi haji tidak berarti mempermudah hingga meremehkan substansi ibadah. Sebaliknya, ia menegakkan prinsip moderat yang diajarkan syariat, menjaga keseimbangan antara teks dan konteks, menempatkan antara tuntunan Rasulullah dan perubahan zaman, serta menyelaraskan antara esensi ibadah dan kondisi jamaah. Islam pada hakikatnya adalah agama yang menghadirkan taysir kemudahan tanpa menghilangkan ruh ketundukan. Karena itu, moderasi haji adalah upaya menunaikan ibadah sesuai tuntunan Nabi, namun dengan kesadaran penuh terhadap tantangan kesehatan, keselamatan, dan dinamika sosial jamaah masa kini.
Kemudahan sebagai Prinsip Syariat
Al-Qur’an menegaskan bahwa Allah “tidak menghendaki kesulitan” bagi hamba-Nya (Qs. Al Baqarah 185). Dalam konteks haji, prinsip ini bukan sekadar ayat yang dikutip dalam ceramah, tetapi acuan praktis yang sangat diperlukan. Selama dua dekade terakhir, jamaah Indonesia yang berangkat ke Tanah Suci didominasi oleh kalangan lanjut usia. Data Kemenag menunjukkan bahwa lebih dari 60% jamaah berusia di atas 55 tahun, dan sebagian membawa penyakit bawaan seperti diabetes, hipertensi, dan gangguan pernapasan. Jumlah lansia yang semakin tinggi menuntut pendekatan ibadah yang lebih lentur dan adaptif.
Para ulama juga telah lama menegaskan bahwa rukhshah atau keringanan yang merupakan bagian integral dari syariat. Dalam haji, hal ini tercermin pada keringanan menggunakan kursi roda saat tawaf, menggabungkan lontaran jumrah, hingga mengambil kebijakan tanazul bagi jamaah risti dan pendampingnya. Sayangnya, di sebagian masyarakat masih ada anggapan bahwa kemudahan ini adalah pengurangan nilai ibadah, padahal Rasulullah sendiri mencontohkan fleksibilitas yang luas dalam manasik. Beliau membiarkan sahabat melakukan haji dengan variasi yang berbeda, selama tidak keluar dari syariat.
Moderasi haji hadir untuk menyadarkan umat bahwa kemudahan bukanlah kelemahan religius, melainkan kekuatan moral Islam. Justru sikap yang kaku dan memaksakan diri hingga mengancam keselamatan merupakan bentuk mengabaikan maqaṣid al-syariah tujuan syariat yang menghendaki penjagaan jiwa dan kesehatan.
Wajah Moderasi dalam Praktik Manasik
Pelaksanaan moderasi haji tampak nyata dalam beberapa aspek teknis di lapangan. Pertama, dalam tawaf dan sa’i, banyak jamaah lanjut usia tidak mampu berjalan jauh. Menggunakan kursi roda bukanlah bentuk pelemahan ibadah, tetapi pengakuan terhadap kondisi manusiawi. Keabsahan tawaf tidak berkurang sedikit pun karena syariat memandang kemampuan sebagai batas kewajiban.
Kedua, dalam wukuf di Arafah, yang menjadi inti haji, moderasi mengajarkan bahwa kualitas kehadiran spiritual lebih penting daripada lamanya berdiri di padang pasir. Fokus ibadah adalah doa, dzikir, dan kekhusyukan. Jamaah yang sakit dan harus dirawat dalam tenda kesehatan tidak kehilangan nilai hajinya, karena esensi wukuf adalah “berada di Arafah” selama waktunya, bukan secara fisik dipaksakan dalam kondisi membahayakan.
Ketiga, moderasi juga tampak pada kebijakan mabit di Mina. Kepadatan Mina yang ekstrem menjadikan sebagian jamaah menghasilkan risiko tinggi terhadap kesehatan, terutama saat cuaca mencapai 45–50 derajat Celsius. Kebijakan tanazul yaitu tidak mabit di Mina bagi jamaah risti atau lansia, hal ini bukanlah pembatasan ibadah, tetapi perlindungan terhadap jamaah yang rawan mengalami dehidrasi, heat stroke, atau kambuhnya penyakit kronis. Prinsipnya sederhana namun kuat yaitu menjaga nyawa lebih utama daripada mengejar amalan sunnah yang berpotensi membahayakan.
Keempat, melontar jumrah juga menjadi salah satu area krusial. Tragedi desak-desakan di masa lalu telah menyadarkan kita betapa berbahayanya fanatisme ritual yang dilakukan tanpa memperhatikan keselamatan. Moderasi membolehkan jamaah melempar jumrah di luar jam puncak, menggabungkan lontaran bagi jamaah risti, atau mempercayakan pelontaran kepada petugas jika kondisi tidak memungkinkan. Inilah bentuk ibadah yang tidak hanya benar secara syariat, tetapi juga beradab dan manusiawi.
Moderasi sebagai Etika Ibadah
Moderasi haji tidak terbatas pada aspek fikih, ia juga menyentuh dimensi akhlak. Haji seharusnya tidak menumbuhkan sifat arogan, merasa paling benar, atau meremehkan jamaah lain yang mendapatkan keringanan. Moderasi mengajarkan bahwa setiap jamaah datang dengan niat yang sama, mendekatkan diri kepada Allah. Namun mereka membawa fisik, usia, kapasitas, dan pengalaman spiritual yang berbeda.
Karena itu, akhlak moderat dalam haji meliputi: tidak memaksa diri melebihi kemampuan, tidak menghakimi ibadah orang lain, melatih kesabaran di tengah keramaian, menjaga emosi, serta mematuhi aturan petugas sebagai bentuk ta’awun dan penghormatan terhadap kebijakan keselamatan. Mengikuti aturan bukan berarti mengurangi kekhusyukan, tetapi justru menciptakan kenyamanan kolektif agar seluruh jamaah dapat beribadah dengan aman.
Saat jutaan orang berkumpul dalam satu ruang dan waktu yang sama, sedikit saja ego dan ketergesaan dapat menimbulkan bahaya. Moderasi menjadi etika publik yang mencegah lahirnya disharmoni. Ia mengingatkan bahwa ibadah tidak hanya soal diri sendiri, tetapi juga menjaga keselamatan dan perasaan orang lain. Inilah nilai luhur yang kadang luput dari perhatian ketika jamaah terjebak dalam kemeriahan ritual.
Moderasi sebagai Kebijakan Publik
Dalam skala negara, moderasi haji harus diterjemahkan ke dalam kebijakan penyelenggaraan. Pemerintah Indonesia telah mengambil langkah serius melalui penetapan standar layanan kesehatan, manajemen pergerakan, pelatihan petugas, hingga digitalisasi layanan haji. Namun tantangan masih besar yaitu jumlah jamaah lansia terus meningkat, kompleksitas layanan kesehatan bertambah, dan dinamika kebijakan Arab Saudi berubah cepat.
Penerapan moderasi berarti menyesuaikan seluruh kebijakan agar lebih responsif terhadap kondisi jamaah. Misalnya, pembagian kloter berbasis risiko kesehatan, penyediaan fasilitas klinis yang lebih dekat dengan Masyair, penempatan tenaga medis di sejumlah titik rawan, dan pemberian edukasi manasik yang lebih personal melalui bimbingan berbasis wilayah. Moderasi juga mengharuskan pemerintah mengambil keputusan yang tidak populer seperti tanazul demi mencegah risiko yang lebih besar.
Lebih jauh, moderasi haji menuntut adanya kolaborasi yang kuat antara negara, ulama, pembimbing manasik, tenaga kesehatan, dan masyarakat. Di tingkat akar rumput, masih banyak narasi yang menolak kemudahan karena dianggap mengurangi nilai ibadah. Di sinilah peran ulama dan pembimbing manasik menjadi sangat strategis: menjelaskan bahwa rukhsah bukanlah pengurangan pahala, tetapi justru bentuk ketaatan terhadap syariat yang memprioritaskan keselamatan.
Moderasi Sebagai Jalan Menuju Haji Mabrur
Haji mabrur bukan hanya hasil dari kesempurnaan ritual, tetapi buah dari kedewasaan spiritual. Moderasi mengajarkan jamaah untuk menerima keterbatasan diri, menghargai perbedaan kondisi, dan mempraktikkan akhlak mulia selama prosesi ibadah. Ia mengubah cara pandang jamaah dari sekadar “menyelesaikan ritual” menuju “menghadirkan penghayatan”.
Dalam perspektif ini, moderasi bukan kompromi, tetapi pendalaman. Jamaah yang menjalani ibadah dengan tenang, tidak memaksakan diri, mengikuti aturan petugas, menjaga ketertiban, dan saling menolong justru lebih dekat dengan makna mabrur. Sebab mabrur tidak diukur dari berapa banyak amalan tambahan yang dilakukan, tetapi dari seberapa dalam ibadah itu menumbuhkan keikhlasan, kesabaran, dan kebajikan setelah kembali ke tanah air.
Haji yang moderat adalah haji yang memberi ruang bagi kelemahan manusia, tanpa kehilangan kemurnian ibadah. Ia memadukan syariat, akal sehat, dan empati. Dalam situasi ekstrem seperti keramaian masyair, pendekatan inilah yang paling memungkinkan umat muslim menunaikan ibadah dalam kedamaian.
Moderasi haji adalah jawaban atas tantangan zaman. Dengan jumlah jamaah yang semakin besar, risiko kesehatan yang kompleks, dan perubahan kebijakan global yang cepat, pendekatan yang kaku tidak lagi relevan. Yang dibutuhkan adalah pemahaman syariat yang mendalam dan kebijakan publik yang adaptif.
Kita perlu menyadari bahwa kemudahan bukanlah pengurangan nilai, tetapi bagian dari rahmat syariat. Moderasi bukan kompromi terhadap ajaran agama, tetapi implementasi paling otentik dari pesan Islam yang selalu memilih jalan tengah: tidak berlebihan dan tidak meremehkan ibadah.
Melalui moderasi, haji tidak hanya menjadi ritual tahunan yang penuh kerumunan, tetapi perjalanan spiritual yang aman, tenang, dan penuh makna. Jamaah menjalankan ibadah dengan lebih sadar, lebih menghargai diri sendiri, dan lebih menghormati sesama. Pemerintah pun dapat mengelola penyelenggaraan dengan lebih efektif, berfokus pada aspek keselamatan, kesehatan, dan pelayanan yang bermartabat. Semoga moderasi menjadi jalan yang memperindah ibadah dan memperteguh langkah kita menuju haji yang mabrur. (ndy)




