Oleh : Christian Heru Cahyo Saputro, Jurnalis, pengamat seni rupa tinggal di Semarang.
Pagi itu, Sabtu (29/11), halaman Gedung Dewan Kesenian Lampung di Way Halim terasa seperti sebuah panggung yang baru saja dibuka tirainya. Udara segar menyelinap lewat dedaunan, bercampur dengan aroma cat minyak, kayu, dan energi kreatif yang tak kasatmata. Di sinilah “Pamer PAMOR” resmi memulai denyutnya—sebuah perayaan keberanian seniman untuk menampilkan kilau terbaik karya mereka, bukan sekadar untuk dipandang, tetapi untuk direnungkan.
Di hadapan para tamu yang memenuhi pelataran, Prof. Dr. Satria Bangsawan, SE., M.Si., Ketua Umum Dewan Kesenian Lampung, menyampaikan sambutannya dengan nada hangat. Ia memuji kerja serius para perupa yang berkolaborasi lewat Komite Seni Rupa dan Sanggar Seni Lampung Ornamen, dengan dukungan penuh dari BPK Wilayah 7 Kementerian Kebudayaan RI. “Ini bukan hanya pameran,” ungkapnya, “melainkan pernyataan: bahwa seni Lampung tidak redup, justru semakin bercahaya.”
Hampir seratus hadirin—dari perupa senior, pelajar, hingga masyarakat umum—mengalir memasuki ruang pamer, seolah tertarik oleh magnet tak terlihat. Di kanan dan kiri, 46 karya seni berdiri memanggil: 43 lukisan dalam berbagai bahasa rupa, dan 4 instalasi yang seperti memberi napas baru bagi ruangan.
Jejak-jejak Cerita dalam Instalasi
Salah satu ruang paling ramai dikerumuni pengunjung adalah instalasi “Bermuara ke Tanah Sumatera” karya kolaboratif Cici, Rach, Gustaf, dan Taufik. Instalasi ini tidak sekadar dilihat—ia dihidupi. Prof. Satria sendiri masuk ke dalamnya, berdialog sejenak dengan para kreatornya sebelum berfoto di tengah-tengah susunan karya yang memang dirancang untuk disentuh, dijelajahi, dan dipaknai ulang oleh siapa pun yang memasukinya.
Dekolonisasi dan jejak transmigrasi masa kolonial 1900-an menjadi napas utamanya, mengalir lirih namun kuat.
Dari sudut lain, instalasi “Retak” karya Dewa Nizar mencuri perhatian para penikmat ketenangan. Retakan yang diciptakan Nizar bukan sekadar pecah pada medium—ia pecah pada kesadaran: tentang harmoni yang rapuh, tentang kehidupan yang selalu menuntun manusia untuk menerima bahwa tak ada yang kekal sepenuhnya.
Ari Susiwa Manangisi mengangkat pertanyaan yang jauh lebih eksistensial lewat karyanya “Siapa Kita?”. “Pamor,” katanya, “tidak lahir dari tepukan dada sendiri, tetapi dari pengakuan khalayak.” Instalasinya adalah ajakan untuk menengok kembali identitas, bukan sebagai kebanggaan kosong, melainkan cahaya yang mesti diuji di hadapan dunia.
Kolaborasi Alif Priyono dan Nizar lewat “The Dialogue” menghadirkan percakapan visual tentang hitam dan putih, disambung oleh benang-benang halus seperti hubungan antar manusia yang rapuh dan sekaligus mengikat.
Pamor Lukisan: Dari Senior hingga Perupa Muda
Dalam bagian lukisan, sejumlah karya mencuri atensi publik dan juga apresiasi langsung dari Ketum DKL. Ada “PULANG” karya Helmy Azeharie, yang membawa penonton pada perjalanan batin tentang makna kembali.Ada “MODERNITAS” oleh Edi Purwantoro, yang menggoreskan kegelisahan manusia urban dalam komposisi tegas. Toni lewat “NO PHYSICAL DISTANCING” seperti menghadirkan kembali absurditas masa pandemi.
Lalu “KEHIDUPAN” karya Joko Irianto, “Black to Nature” oleh Ch. Sapto Wibowo, hingga “PENYESALAN” dari Papajoe—semuanya berdiri sebagai entitas yang tidak hanya tampak, tetapi terasa.
Budayawan Lampung, Anshori Djausal, memberikan apresiasi yang meneguhkan suasana pameran. “Semua ini benar-benar berpamor,” ujarnya. “Seleksi yang ketat menghasilkan karya dengan konsep kuat. Tidak ada yang hadir sebagai hiasan belaka.”
Ruang Seni yang Hidup
“Pamer PAMOR” tak berhenti pada karya yang terpajang. Di luar itu, anak-anak mengikuti lomba mewarnai dengan wajah berbinar. Para pelajar mengikuti workshop melukis, sementara para perupa berkumpul dalam sarasehan, berbagi pengalaman dan gagasan. Ruang seni menjadi ruang hidup—tempat ide bertemu, bertumbuh, dan menyalakan satu sama lain.
Kurator pameran, David, menjelaskan bahwa keseimbangan karya adalah ruh utama pameran ini. Dari kontemporer, realisme, naturalisme, hingga pop art—semua hadir dalam satu ruang, satu panggung, satu niat yang sama: menampilkan pamor terbaik diri masing-masing.
Sementara itu, pengunjung yang sebagian besar mahasiswa tampak tekun memotret, mencatat, atau sekadar menghayati. Ada harapan di sana—bahwa apresiasi seni di Lampung pelan namun pasti semakin bertumbuh, bukan hanya dalam bentuk kunjungan, tetapi juga koleksi yang kelak menghuni rumah-rumah penikmatnya.
“Pamer PAMOR” akan berlangsung hingga 4 Desember 2025, membiarkan setiap karya bertemu dengan lebih banyak pasang mata, lebih banyak pasang hati. Di ruangan itu, cahaya seni terus berpendar—pelan, namun pasti, menemukan jalannya sendiri. (*)




