Oleh Christian Heru Cahyo Saputro, Jurnalis, Pemerhati Budaya Tradisi, Penulis Buku Piil Pesenggiri, Etos dan Semangat Kelampungan.
Di Lamban Gedung Sai Batin Marga Tenumbang, pada pagi yang terasa lebih teduh dari biasanya, asap tipis dari dapur-dapur kayu berbaur dengan hembusan angin laut yang datang dari barat. Pekon Negeri Ratu Tenumbang tampak seolah kembali ke masa ketika cerita-cerita leluhur belum pernah tercatat dalam buku—hanya disimpan dalam ingatan, dituturkan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Di tempat inilah, pada Senin, 1 Desember 2025, Ngejalang Fest dibuka secara resmi. Sebuah perayaan yang tak hanya memanggil masyarakat, tetapi memanggil ingatan: tentang siapa mereka, dari mana mereka tumbuh, dan ke mana budaya pesisir hendak dibawa.
Ketika Sebuah Desa Menjadi Cahaya
Bupati Pesisir Barat, Dedi Irawan, berdiri di hadapan masyarakat dengan suara yang mengalir tenang namun tegas. Dalam sambutannya, ia menyampaikan kebanggaan yang dalam atas ditetapkannya Desa Budaya Bumi Lebu sebagai salah satu dari sepuluh penerima Aktivasi Desa Pemajuan Kebudayaan tingkat Nasional 2025—satu-satunya dari Sumatra bagian selatan.
“Budaya adalah jangkar,” ujarnya. “Di tengah arus global yang tak pernah berhenti bergerak, akar budaya menjaga kita agar tidak hanyut.”
Kata-katanya menggema di balik dinding kayu Lamban Gedung, seolah dipantulkan kembali oleh leluhur yang pernah menetap di sana. Pesibar, katanya, adalah tanah yang kaya akan tradisi: sastra lisan, tari, adat sai batin, falsafah hidup yang menempatkan kejujuran dan kesederhanaan sebagai pondasi. Semua itu bukan sekadar peninggalan, melainkan napas yang harus terus dihidupkan.
Desa budaya, baginya, bukan museum: ia adalah ruang tumbuh, ruang berkarya, ruang masyarakat membangun masa depan tanpa meninggalkan jejak tanah asal.
Ngumbai Atakh: Membuka Ruang, Membersihkan Jiwa
Ngejalang Fest dibuka dengan Ngumbai Atakh, sebuah prosesi yang memanggil kesunyian paling purba dari masyarakat pesisir. Di halaman Lamban Gedung, para tetua membakar dedaunan dan rempah, asapnya naik seperti doa yang mencari jalan pulang.
Anak-anak muda mengikuti pemuka adat berjalan memutar, memercikkan air ke empat penjuru mata angin.
“Ini bukan sekadar pembersihan tempat,” kata seorang tetua. “Ini cara kami membersihkan hati, membuka ruang bagi hal baik, agar adat kembali menemukan jalannya.”
Museum Ruang Tamu dan Himpun Adat: Ruang di Mana Ingatan Disusun Kembali
Di sudut lain, Museum Ruang Tamu dibuka—ruang kecil yang sarat benda-benda rumah tangga, perabot adat, foto-foto tua, dan cerita yang sebelumnya hanya hidup dalam tutur keluarga. Museum ini menjadi pengingat bahwa adat lahir dari ruang paling intim: ruang tamu, dapur, halaman belakang, dari kehidupan sehari-hari yang sederhana namun penuh makna.
Pada Himpun Adat, tokoh-tokoh masyarakat dari Marga Tenumbang duduk bersama, membicarakan adat bukan sebagai warisan mati, tetapi sebagai sistem nilai yang harus terus dirawat. Mereka mengingatkan masyarakat bahwa adat adalah pagar yang melindungi arah—bukan tembok yang menutup jalan.
Kelasa Muloh Tungga: Malam Ketika Cerita Menemukan Sayap
Ketika matahari terpeleset ke balik bukit, Kelasa Muloh Tungga mengambil alih malam. Balai adat diterangi lentera, musik tradisional berdentang, dan tarian pesisir mengalir seperti ombak: lembut, lalu tiba-tiba tegas, seolah membawa pesan dari masa lalu.
Anak-anak duduk mendengar dongeng tetua; para ibu menata suguhan; para pemuda memainkan musik yang baru belajar mereka banggakan. Malam itu, Bumi Lebu menjadi panggung hidup tempat tradisi tidak hanya ditampilkan, tetapi dihayati bersama.
Sarasehan Budaya: Ketika Generasi Bertemu di Tengah Jalan
Di siang berikutnya, Sarasehan Budaya mempertemukan dua dunia: tetua adat dan generasi muda. Mereka bicara tentang cara menjaga bahasa Lampung, tentang konten digital yang dapat membawa budaya ke mata publik nasional, tentang bagaimana tradisi tak boleh disimpan dalam lemari.
“Budaya baru akan hidup bila dibawa oleh anak muda,” ujar salah satu pemangku adat.
Di ruangan itu, masa depan dan masa lalu saling menguatkan. Saat Budaya Memberi Kehidupan Ngejalang Fest tak hanya memantik kembali ingatan budaya; ia juga membuka peluang ekonomi. Bazar kuliner tradisional mulai ramai, kerajinan lokal mendapat pembeli, dan UMKM pekon menemukan kembali kepercayaan diri untuk berkembang.
Kepala Balai Pelestarian Wilayah 7 Kemenbud, Iskandar Mulia Siregar, menegaskan hal ini: “Kegiatan seperti ini bukan hanya pelestarian, tapi daya tarik wisata yang akan menggerakkan ekonomi masyarakat.”
Di Tenumbang, budaya bukan sekadar dirayakan—ia memberi makan, membuka lapangan kerja, menggerakkan pasar.
Suara dari Rumah Adat
Sai Batin Marga Tenumbang, Merah Gunawan, menyampaikan rasa bangga masyarakat: “Ini menjadi semangat baru. Masyarakat kami sudah lama menjaga adat, dan hari ini dunia melihatnya.”
Di balik suaranya, ada denyut harapan yang tak lagi malu-malu: harapan bahwa tradisi pesisir tidak akan hilang, tidak akan pudar, bahkan ketika zaman melaju begitu cepat.
Bumi Lebu: Rumah yang Menjaga Ingatan
Desa Wisata Bumi Lebu sendiri adalah kisah panjang tentang keselarasan: antara rumah panggung kayu, kebun yang teduh, sungai yang jernih, dan masyarakat yang hidup dalam tata adat yang diwariskan dari Sai Batin ke Sai Batin berikutnya. Di sini, wisatawan tidak hanya melihat keindahan; mereka diajak masuk, duduk, mendengar, dan memahami.
Dengan Ngejalang Fest, desa ini kembali menunjukkan bahwa budaya tidak pernah selesai. Ia adalah cahaya yang dijaga bersama—oleh tetua, oleh anak muda, oleh pemerintah daerah, dan oleh Kementerian Kebudayaan.
Tradisi yang Terus Menyala
Pada akhirnya, Ngejalang Fest bukan sekadar festival. Ia adalah pernyataan.Tentang identitas yang teguh.Tentang masyarakat yang tidak takut berubah, tetapi tidak mau kehilangan arah.Tentang budaya pesisir yang terbuka, kuat, dan kaya akulturasi.
Di Bumi Lebu, tradisi itu tidak hanya dipertahankan. Ia hidup. Ia bernafas. Ia menyala. (*)




