Semarang, 5 Desember 2025 — Pagelaran Wayang Orang On The Street (WOTS) kembali menghidupkan kawasan Kota Lama Semarang melalui pementasan lakon “Antareja Takon Bapa” yang dipersembahkan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kota Semarang bekerja sama dengan Wayang Orang Ngesti Pandowo. Pertunjukan yang digelar di Oudetrap Open Theatre ini kembali menarik perhatian ratusan penonton dari dalam dan luar kota.
Dalam sambutannya, Kabid Kebudayaan Disbudpar Kota Semarang, Saroso, S.Sn, yang hadir mewakili Kepala Dinas, menyampaikan apresiasi atas keberhasilan WOTS menjadi ikon budaya yang konsisten menghadirkan seni tradisi ke ruang publik.
“Pagelaran ini bukan hanya menjadi tontonan, tetapi sudah berkembang menjadi ruang kreatif yang mempertemukan seniman, warga, dan wisatawan dalam suasana hangat penuh cerita. Antusiasme penonton setiap gelaran menjadi bukti bahwa seni tradisi masih memiliki tempat kuat di hati masyarakat,” ujar Saroso.
Ia juga memberikan penghargaan kepada para penggerak dan inisiator WOTS, terutama drg. Grace Widjaya Susant. Pada mala itu di antara ratusan penonton nampak Johni Rahaket yang datang langsung dari Belanda yang sangat mengapresiasi pagelaran itu.
Menurutnya, konsistensi mereka telah menyalakan kembali gairah apresiasi Wayang Orang sekaligus memperkuat citra Kota Lama sebagai ruang budaya yang hidup.
Lakon “Antareja Takon Bapa” menghadirkan fragmen penting dari epos Mahabharata, ketika Antareja mencari asal-usul dan pengakuan dari ayahnya, Werkudara (Bima). Pertemuan keduanya dibungkus dalam narasi yang menekankan pencarian jati diri, pergulatan batin, serta makna keberanian menjaga kebenaran.
Pertunjukan yang disutradarai Bude Lee, dengan koreografi Paminto Krisna dan tata musik Githung Swara, tampil energik dan menyentuh. Gerak para penari, komposisi musik, dan dramaturgi yang rapi menghadirkan suasana puitis namun tetap komunikatif bagi penonton lintas usia.
Penonton memenuhi tribun Oudetrap sejak pukul 19.00 WIB, menikmati pementasan yang memadukan kekuatan karakter Bima yang tegas dengan pencarian lirih Antareja sebagai anak yang hidup di antara dua dunia. Dialog batin dan adegan dramatik yang dihadirkan, termasuk kritik sosial yang disisipkan secara halus, membuat lakon ini relevan sekaligus memikat.
Disbudpar berharap WOTS terus menjadi ruang edukasi bagi generasi muda untuk mengenal seni tradisi serta memperkuat identitas Semarang sebagai kota budaya dan kota wisata yang inklusif. Program ini juga dinilai efektif menghidupkan kawasan Kota Lama pada malam hari, sekaligus menjadi atraksi wisata yang berkelanjutan.
Pagelaran ditutup dengan tepuk tangan panjang dari penonton yang larut dalam alur ceritanya—membuktikan bahwa seni tradisi, ketika dibawa turun ke ruang publik, mampu kembali menyentuh masyarakat dengan cara yang sederhana dan hangat. (Christian Saputro)




