Semarang, 2025 — Malam di Grobak Art Kos Hysteria, Stonen, Semarang, Sabtu (29/11/2025) itu terasa seperti ruang bawah tanah kota—hangat, padat, penuh gumam dan aroma kopi yang menguap pelan. Di layar, serangga raksasa Vermines baru saja merayap keluar dari kegelapan, dan para penonton masih mengatur napas ketika lampu kembali menyala. Namun keheningan yang tertinggal bukan sekadar sisa ketegangan horor; seolah ada sesuatu yang lain, sesuatu yang menunggu untuk dibicarakan.
Sastrawan Jinawi Rana, yang akrab disapa Mbak Jeje, melangkah ke depan. Dengan gaya tutur yang tenang namun tajam, ia memulai pembacaan yang mengubah ruang pemutaran itu menjadi semacam laboratorium sosial. Bagi Mbak Jeje, Vermines bukan hanya film tentang hama yang merajalela—ia adalah satire tentang bagaimana masyarakat memandang “yang lain”.
Judul sebagai Gerbang: Ketika Kata Menjadi Tuduhan
“Film ini sudah memberi kita peringatan sejak judulnya,” ujar Mbak Jeje.
Vermines. Hama. Organisme pengganggu. Kata yang melabeli sekaligus menyingkirkan. Kata yang, menurutnya, tidak hanya merujuk pada serangga, tetapi juga pada manusia—terutama mereka yang berada di pinggir garis sosial.
Dari sinilah pembacaan itu mulai berlapis. Ia menyebut bahwa istilah ‘vermines’ dapat diasosiasikan dengan “orang-orang yang berpindah, yang tak menetap, mereka yang—di mata sebagian masyarakat—mengganggu keteraturan.”
Migran, pendatang, warga yang kehilangan stabilitas tempat tinggal—semuanya bisa termaktub dalam satu kata yang tampak sederhana itu.
Dan perlahan, para hadirin mulai melihat bahwa teror dalam film bukan sekadar hal biologis, tetapi juga psikologis: ketakutan terhadap kehadiran yang dianggap tidak diinginkan.
Apartemen Kumuh dan Kota yang Membusuk Pelan
Vermines mengambil latar di sebuah apartemen muram: koridor sempit, cat mengelupas, suara-suara samar dari kamar kecil, dan hawa lembap yang seakan menempel di kulit. Bagi Mbak Jeje, pilihan ruang ini bukan kebetulan; ia adalah metafora yang gamblang tentang kesenjangan sosial.
“Bangunan seperti itu bukan sekadar tempat tinggal,” ujarnya,
“tetapi struktur yang memperlihatkan siapa yang terpinggirkan.”
Ketika ancaman serangga merebak, yang pertama tumbang adalah mereka yang sudah berada dalam kondisi paling rapuh. Mereka yang tak punya pilihan selain bertahan di ruang yang rusak—ruang yang, dalam realita, sering ditempati oleh kelompok migran, buruh murah, dan mereka yang tersingkir dari pusat kota.
Film ini, kata Mbak Jeje, menggambarkan bagaimana “ketakutan kolektif lahir dari struktur sosial yang timpang.” Bahwa horor sering disembunyikan bukan dalam monster lain dunia, tetapi dalam realitas sosial yang telah patah.
Serangga, Para Pendatang, dan Ketakutan yang Tak Pernah Bernama
Ketika serangga dalam film berkembang biak, menjelajah celah dinding dan lubang-lubang gelap kota, Mbak Jeje melihatnya sebagai metafora atas kecemasan terhadap yang asing.
Bukan karena “yang asing” itu berbahaya, tetapi karena prasangka sudah lebih dulu tumbuh.
“Serangga itu,” katanya pelan, “adalah bentuk ketakutan yang diwariskan. Ketakutan terhadap mereka yang berbeda, yang datang dari tempat lain, yang kita tak kuasai.”
Dan tiba-tiba, Vermines menjadi seperti cermin yang dihadapkan tepat ke wajah penontonnya. Ia memaksa kita bertanya: siapa yang sebenarnya kita takuti? Serangganya—atau manusia yang kita stempel sebagai serangga?
Membaca Film sebagai Teks Sosial
Dalam sesi diskusi, Mbak Jeje mengajak penonton untuk melihat film sebagai teks budaya—sebuah dokumen hidup yang mencerminkan ketegangan masyarakat. Ia menegaskan bahwa horor modern bergerak ke arah baru: bukan lagi sekadar jump scare, tetapi sosial scare.
Ketegangan bukan hanya tentang apa yang muncul di layar, tetapi tentang apa yang tersembunyi di baliknya.
“Film horor hari ini,” tegasnya, “menyisipkan isu sosial yang kita hadapi sehari-hari. Itu yang membuatnya menggugah.”
Vermines, dalam pandangannya, berhasil menciptakan ketakutan fisik sekaligus ketakutan sosial. Dan justru pada persilangan dua ketakutan inilah film itu menemukan kekuatannya.
Seni Sebagai Tanggung Jawab, bukan Sekadar Tontonan
Menutup pemaparannya, Mbak Jeje menyampaikan pesan yang terdengar seperti mantera bagi generasi kreatif muda:
“Selipkanlah pesan dalam tiap karyamu. Karena kita hidup untuk sesuatu.”
Baginya, film—seperti juga puisi, teater, atau gambar—adalah ruang untuk menyingkap persoalan yang sering hanya berbisik dalam kehidupan sehari-hari. Ia mendorong para pembuat film muda untuk tidak takut menyentuh tema yang dekat dengan masyarakatnya.
Festival Sinema Prancis 2025: Ketika Kota Berjumpa Gagasan
Pemutaran Vermines adalah bagian dari rangkaian Festival Sinema Prancis 2025 di Semarang—sebuah program yang bukan hanya menampilkan film internasional, tetapi juga mempertemukan penonton lokal dengan perspektif baru.
Di Grobak Art Kos Hysteria malam itu, film tidak berhenti pada layar; ia diperpanjang oleh percakapan, oleh gagasan, oleh pembacaan yang membawa para penonton ke ranah yang lebih dalam.
Dengan hadirnya pembicara seperti Jinawi Rana, festival ini bukan lagi ajang tontonan, tetapi wadah interpretasi. Ruang di mana film berubah menjadi pengalaman intelektual, emosional, sekaligus sosial.
Di tengah riuh rendah kota, Vermines menjadi lebih dari sekadar horor: ia menjadi alegori tentang manusia, kota, dan hantu paling kuno dalam peradaban—takut pada mereka yang berbeda.
Dan barangkali, seperti yang diingatkan Mbak Jeje malam itu,
justru di sanalah film menemukan kekuatannya: membuat kita bercermin pada diri sendiri. (Christian Saputro/ril)




