Oleh : Christian Heru Cahyo Saputro, Jurnalis,pemerhati seni rupa tinggal di Semarang.
Pringsewu Resto Gallery, Kota Lama Semarang — 7 Desember 2025 hingga 26 Maret 2026
Di sebuah sudut Kota Lama Semarang yang selalu menyimpan gema masa lalu—aroma bangunan kolonial, jejak pedagang, dan desir angin dari Sungai Mberok—Pringsewu Resto Gallery menjadi panggung baru bagi seorang seniman yang hidup di tiga dunia sekaligus: lukis, tari, dan wayang orang. Namanya Paminto Krisna, namun di banyak lingkar seni ia lebih akrab disapa Paminto.
Pameran “Harmonics” bukan sekadar pameran lukisan; ia adalah ruang resonansi. Ruang tempat warna bertemu ritme, gerak bertemu cahaya, dan burung—ikon khas Paminto—menjadi suara yang dapat dilihat mata.
Tubuh Penari, Tangan Pelukis, Jiwa Dalang
Bagi Paminto, seni bukan disiplin—melainkan cara berada di dunia.
Paminto tumbuh dalam tradisi pertunjukan Jawa: suara gamelan yang datang dari kejauhan, aroma bedak panggung, langkah gemulai para penari, dan wajah-wajah bertopeng yang menyimpan ribuan kisah. Dari dunia itulah ia belajar: setiap gestur punya narasi, setiap nada punya arah, dan setiap tokoh wayang membawa filosofi.
Ketika ia melangkah ke dunia tari, tubuhnya menjadi instrumen. Ketika ia naik ke panggung wayang orang, ia menjadi karakter yang bernapas. Dan ketika ia memegang kuas, seluruh pengalaman tubuh panggung itu mengalir ke kanvas.
Itulah sebabnya, dalam karya-karya Paminto, gerak selalu terasa, bahkan ketika objeknya diam. Ada jejak tari di setiap lengkung garis. Ada bisikan lakon di balik setiap warna gelap. Ada ritme gamelan yang seolah memantul dari layer transparan cat akriliknya.
Burung-burung yang Membawa Suara
Burung bagi Paminto bukan sekadar representasi alam. Mereka adalah pengemban frekuensi—suara yang tak terdengar, namun ingin hadir.
Dalam banyak lukisannya, burung hinggap di ambang jendela, bertengger di kursi, melintasi atap, atau berada di tangan figur. Mereka merekam memori domestik, kenangan desa, kesunyian pagi, atau pesan-pesan kecil dari alam. Ada burung yang tampak bebas, ada yang gelisah, ada yang seperti sedang menyampaikan sesuatu pada penikmatnya.
Dalam pameran Harmonics, burung menjadi aksara visual yang menyatukan keseluruhan seri. Mereka menyalakan resonansi: kicau yang dibekukan menjadi warna, melodi yang diterjemahkan menjadi komposisi.
Objek-Objek yang Menyimpan Jiwa Ruang
Selain burung, Paminto menghadirkan objek rumah tangga: jendela, pintu, kursi, meja, kadang topeng, kadang instrumen musikal. Objek-objek ini bekerja sebagai penanda ruang—ruang yang pernah dihuni, dicintai, atau ditinggalkan.
Jendela adalah portal. Dari sinilah suara masuk dan keluar. Kursi adalah tubuh yang tidak hadir: ada kehadiran manusia, tetapi hanya jejaknya.
Topeng dan atribut wayang adalah memori panggung yang dibawa ke kehidupan sehari-hari.
Nada-nada kecil, garis mirip senar, pola ritmis warna adalah sisa-sisa dunia tari dan musik yang disublimasikan ke dalam bahasa rupa.
Ruang dalam lukisan Paminto adalah ruang yang hidup, ruang yang berbunyi.
Teknik yang Membuat Kanvas Bernyanyi
Secara teknis, Paminto bermain pada realisme yang ia “ganggu” dengan distorsi musikal. Detail figur dan burung terasa nyata, namun sapuan-sapuan cepat, lengkung-lengkung gestural, dan layer transparan menghadirkan gerak—seperti gelombang suara.
Palet warnanya pun bekerja sebagai orkestra: kontras biru-oranye, merah-kuning, hijau-toska menjadi akor yang saling menegaskan. Sementara ruang negatif—bidang kosong yang disisipkan—memberikan jeda. Dalam musik, jeda adalah tempat gema bekerja. Dalam lukisan Paminto, jeda adalah tempat imajinasi penonton menyelesaikan cerita.
Paminto, dan Harmoni yang Dicari
Mungkin inilah inti dari Harmonics: keterhubungan antara apa yang pernah dipertunjukkan tubuh Paminto di panggung dan apa yang kini ia bangun di kanvas. Ia tidak meninggalkan dunia tari atau wayang; ia justru membawa mereka masuk ke dunia lukis. Ia mengikat semuanya melalui ritme, gestur, dan resonansi.
Melihat sebuah karya Paminto di galeri ini, pengunjung tidak hanya “melihat” lukisan—mereka mendengar. Mendengar warna, mendengar gerak, mendengar ingatan.
Di tengah keramaian Kota Lama, pameran ini adalah sebuah ruang sunyi yang bernyanyi. (*)




