Oleh Christian Heru Cahyo Saputro, Jurnalis pemerhati seni rupa dan pendidikan tinggal di Semarang
Semarang — Di senja yang jatuh perlahan di Kota Lama Semarang, Minggu (7/12/2025), Teko Deko Koffiehuis berubah menjadi ruang yang tak sekadar memajang lukisan. Ia menjelma menjadi rumah bagi suara-suara yang kerap luput dari percakapan publik—suara para penyandang disabilitas, suara para seniman yang merawat inklusi, dan suara harapan yang ditorehkan dalam warna-warna yang berani.
Rotarian Antonius ,Ketua Pelaksana mengatakan, Pameran bertajuk “Wheels of Hope Art Exhibition: Living with Disabilities” ini diselenggarakan oleh Rotary Club of Semarang Bimasena, menghadirkan puluhan seniman dari berbagai latar. “Namun yang mereka bawa bukan hanya karya: mereka membawa kisah, pengalaman hidup, dan sudut pandang baru tentang apa artinya menjadi manusia dalam keberagaman,”ujar Antonius haru.
Ketika Seni Menjadi Ruang Pertemuan
Di dalam ruang yang hangat oleh cahaya lampu kuning, puluhan karya digantung berdekatan, membentuk semacam percakapan bisu. Beberapa lukisan menampilkan kursi roda dalam komposisi yang puitis—bukan sebagai simbol keterbatasan, melainkan kendaraan bagi keteguhan. Ada pula figur manusia dengan garis ekspresif, tubuh-tubuh yang menolak didefinisikan. Warna-warna kontras memantul dari dinding bata ekspos: merah yang menyuarakan keberanian, biru yang menyimpan hening, kuning yang mengajak kita percaya.
Setiap seniman seolah berkata: “Inilah dunia yang kami lihat. Dengarkanlah dengan mata.”
Pengunjung yang datang tak sekadar berdiri di depan lukisan. Mereka berhenti lama, seakan mencari sesuatu yang lebih dalam dari sekadar keindahan visual. Ada yang berbisik lirih, “Ini tentang keberanian.” Ada pula yang menatap lama sebuah figur perempuan yang digambar setengah abstrak—seakan sedang membaca cerita yang tak tertulis.
Seni yang Mengubah Cara Kita Memahami Disabilitas
Tema Living with Disabilities hadir bukan sebagai slogan, melainkan sebagai ruang perenungan. Pameran ini tidak mengajak publik untuk “mengasihani,” tetapi mengajak untuk mengerti—bahwa disabilitas bukan akhir dari gagasan, kreativitas, atau potensi.
Beberapa seniman difabel yang turut terlibat dalam ekshibisi ini bahkan membawa teknik khas: goresan-goresan kuat dari mereka yang hanya bisa menggerakkan sebagian tangan; warna-warna lembut dari pelukis dengan kebutuhan khusus yang menemukan ketenangan lewat cat air; bentuk-bentuk berulang dari seniman tunarungu yang memandang ritme secara visual.
Di sinilah pameran ini berbicara paling kuat: bahwa seni adalah bahasa universal, yang dapat diucapkan siapa saja dengan caranya sendiri.
Gerakan Inklusi yang Nyata
Rotary Club of Semarang Bimasena tidak hanya menghadirkan pameran; mereka menjadikannya sebagai gerakan konkret. Sebanyak 50 persen dari hasil penjualan karya disalurkan bagi kawan-kawan difabel yang mendalami seni lukis—agar mereka memiliki lebih banyak ruang untuk belajar, berkembang, dan menemukan makna melalui karya.
Dukungan ini menjadi saluran harapan, sebuah lingkaran kebaikan yang berangkat dari karya seni lalu kembali kepada pembuat seni itu sendiri.
“Semoga pameran ini mampu membuka lebih banyak pintu,” ujar Presiden Rotary of Semarang Bimasena Linggayani Soentoro,“pintu bagi masyarakat untuk memahami disabilitas, dan pintu bagi para seniman difabel untuk melangkah lebih jauh.”
Semarang dan Kota Lama yang Menjaga Cahaya
Teko Deko—kafe yang berada tepat di tengah lanskap heritage Kota Lama—malam itu berubah menjadi ruang kontemplasi. Di luar, suara sepeda melintas di jalan berlampu temaram, bangunan kolonial berdiri murung namun elegan. Di dalam, suasana hangat ditemani diskusi lirih antar-seniman, aktivis inklusi, mahasiswa seni, dan para pencinta seni rupa.
Di sela-sela pembukaan yang berlangsung pukul 17.00—18.00 WIB itu, seorang pengunjung berkata pelan, “Rasanya setiap lukisan di sini tidak hanya untuk dilihat… tapi untuk dirayakan.”
Dan benar adanya—pameran ini terasa seperti perayaan. Perayaan keberagaman. Perayaan keberanian. Perayaan kehidupan yang tak pernah tunduk pada batas yang tampak.
Seni sebagai Cahaya yang Dibagikan
“Wheels of Hope” adalah bukti bahwa seni dapat menjadi jembatan: jembatan empati, jembatan solidaritas, jembatan yang membuat kita lebih manusia.
Di Kota Lama yang menyimpan napas masa lalu, malam itu kita melihat masa depan: sebuah masa depan yang lebih inklusif, yang memandang semua manusia dengan martabat yang sama, yang mengakui bahwa keindahan lahir dari keberagaman.
Pameran ini masih akan berlangsung hingga beberapa waktu ke depan, dan publik diundang untuk hadir, mengapresiasi, atau bahkan mengambil bagian dalam gerakan ini.
Karena pada akhirnya, harapan bukan dibangun oleh satu orang—melainkan oleh banyak tangan yang bersedia merawatnya.
Dan malam itu, di Teko Deko, harapan sedang tumbuh. (*)




