Benny N.A Puspanegara
Pemerhati Kebijakan Hukum, Sosial, dan Publik
Sumaterapost.co – “Setelah saya membaca laporan penyitaan aset mantan Bupati Pesawaran Dendi Ramadhona yang isinya lebih panjang dari nota belanja butik mewah saya sampai berpikir: ini penyitaan atau grand opening mall baru? Mobil, motor Harley, tas branded satu lemari, sertifikat tanah numpuk seperti skripsi mahasiswa tingkat akhir semuanya diangkut penyidik.
Kalau rakyat kaget, wajar. Yang tidak kaget itu cuma dua pihak: aparat yang menyita dan orang-orang yang sudah lama curiga.
Dan di tengah pesta penyitaan itu, kita disuguhi narasi manis bahwa Bupati aktif Nanda Indira Bastian bisa bekerja tenang-tenang saja, fokus melayani rakyat, tanpa keganggu sedikit pun oleh proses hukum suaminya.
Ah, mohon maaf…
Ini humor politik terbaik bulan ini.
Bahkan komika profesional pun belum tentu bisa menyusun punchline sebagus itu.
Mari bicara jujur, tanpa topeng politik, tanpa drama pencitraan:
Bagaimana mungkin seorang Bupati bisa fokus memimpin satu kabupaten ketika rumahnya jadi lokasi penggeledahan dan pasangannya sedang jadi headline kasus hukum?
Ini bukan problem kecil seperti lupa bayar listrik.
Ini badai besar yang, kalau masuk kategori cuaca, sudah level super typhoon.
Jika ada yang bersikeras bilang itu “tidak berdampak”, saya sarankan cek dulu apakah mereka masih tinggal di bumi atau sudah pindah ke dimensi lain.
Karena di dunia nyata, manusia punya psikologi. Punya emosi. Punya beban. Bukan robot yang bisa di-reset dengan tombol power.
Pemimpin daerah dengan turbulensi personal sebesar ini ibarat sopir bus antar-provinsi yang sedang sibuk memikirkan rumahnya kebakaran tapi tetap disuruh nyetir.
Ya silakan percaya bisa aman, tapi jangan salahkan siapa pun ketika penumpangnya nanti terhempas ke jurang.
Dan ironinya, rakyat Pesawaran disuruh tetap tenang.
Katanya pemerintahan tetap stabil.
Tentu saja ‘stabil’ stabil dalam artian rakyat disuruh sabar, birokrasi disuruh maklum, dan masalah disuruh ditelan pelan-pelan.
Saya tidak sedang menghakimi persoalan rumah tangga siapa pun.
Tapi ketika persoalan itu sudah masuk ke ranah hukum yang menggegerkan publik, lalu menyangkut keluarga inti seorang kepala daerah maka efeknya otomatis menjadi persoalan publik.
Tidak bisa lagi disembunyikan di balik pintu rumah.
Karena pemimpin yang pikirannya terbelah dua akan menghasilkan kebijakan yang juga terbelah dua:
setengah untuk rakyat, setengah untuk krisis keluarga.
Dan pengalaman sejarah bangsa kita sudah membuktikan: ketika pejabat sibuk memadamkan api pribadi, rakyat sering jadi korban rembetannya.
Jika hari ini masyarakat Pesawaran merasa seperti ikut terseret dalam drama hukum yang mereka tidak pernah pesan, itu wajar.
Mereka hanya ingin salah satu hal paling sederhana dari seorang Bupati: pikiran yang utuh dan komitmen yang total.
Bukan pemimpin yang harus membagi atensi antara memimpin kabupaten dan menghadapi badai urusan rumah tangga.
Kalau pejabat saja merasa boleh tidak fokus karena alasan ‘situasi pribadi’, coba rakyat bilang begitu ketika terlambat bayar pajak. Apa bisa diterima?
‘Mohon maaf, saya tidak fokus karena ada masalah keluarga.’
Yakin petugas pajak langsung bilang: “Oh tidak apa-apa Pak, santai saja”?
Tidak kan?
Tapi entah kenapa, kalau pemimpin yang terpengaruh masalah pribadi, masyarakat disuruh maklum dan tetap tersenyum.
Ini namanya standar ganda versi premium.
Akhirnya, mari kita bicara terus terang:
Pesawaran sedang dipimpin dalam kondisi psikologis yang tidak ideal.
Dan siapa pun yang menyangkal ini, sedang meremehkan kecerdasan publik.
Badai sebesar ini TIDAK mungkin tidak mengguncang.
Mustahil. Tidak logis. Tidak ilmiah.
Saya hanya ingin mengingatkan dengan bahasa paling halus, tapi paling jelas:
jika pemimpin kehilangan fokus, pecah konsentrasi, dan terhempas gelombang isu keluarga, maka yang tenggelam bukan kursi Bupati melainkan harapan rakyat Pesawaran.(ndy)




