Semarang – Nama itu: DOM Fatoni—Deo Optimo Maximo Fatoni—lahir di Semarang pada 10 Desember 2013. Nama yang diambil dari ungkapan Latin tentang Yang Mahabaik dan Mahabesar, seolah sejak awal menyiratkan bahwa dunia kelak akan melihat sesuatu yang tidak kecil darinya. Namun semesta seorang anak tidak pernah dibangun oleh kata-kata besar; ia tumbuh dari hal-hal yang paling sederhana: rumah, cahaya, aroma, dan suara. Dan rumah tempat Dom dibesarkan adalah rumah yang tidak pernah betul-betul diam.
Di sana, seni bukan tamu, melainkan penghuni. Ada coretan-coretan yang dibiarkan hidup di dinding, seperti jejak meteor yang tak ingin dihapus. Ada kanvas yang mengering pelan di ruang tamu, patung-patung yang mematung seperti penjaga imajinasi, instalasi kecil yang muncul dari benda-benda sehari-hari, dan mural yang menghadirkan pintu-pintu menuju dunia lain. Bagi Dom kecil, itu semua bukan “seni”—itu adalah teman. Itu adalah lanskap tempat ia belajar memandang, menyentuh, dan menjadi.
Dom adalah anak tunggal, tetapi jarang merasa sunyi. Kehadirannya sehari-hari diisi oleh anjing, kura-kura, ikan, dan bahkan seekor kalajengking yang tak pernah menjadi ancaman bagi imajinasinya. Mereka adalah sahabatnya; dunia kecilnya dipenuhi ritme alam yang lembut namun nyata. Ada tekstur kasar kulit reptil, desir air dalam akuarium, dengus hangat dari hewan peliharaan, sampai ketenangan yang justru mengisi hatinya dengan warna. Dari semua itu, tanpa ia sadari, Dom membangun museum batin, tempat ia menyimpan sensasi, kejutan, dan perasaan yang kelak menjadi garis-garis pertamanya.
Pada usia empat tahun, ketika anak lain mungkin baru mulai menguasai permainan-permainan kecil, Dom menemukan caranya sendiri untuk bernegosiasi dengan dunia: melalui lukisan. Ia belum mengenal teori perspektif atau harmoni warna, namun ia mengenal perasaan, dan ia memercayai perasaan itu lebih dari apa pun. Ia melukis bukan untuk menghibur atau memberi impresi—ia melukis untuk mengeluarkan sesuatu dari dalam dirinya.
Setiap goresannya adalah cuplikan dari apa yang ia lalui: tawa yang tiba-tiba, rasa ingin tahu yang tak pernah diam, kecemasan kecil yang tak bisa ia ungkapkan dengan kata-kata, hingga fenomena-fenomena sederhana yang menyedot perhatian anak seusianya. Dari percampuran itu lahirlah gaya yang ia sebut “Emotional Damage”—istilah yang terdengar jenaka, tetapi pada Dom justru menunjukkan bagaimana seorang anak mampu mengubah bahasa internet menjadi estetika visual yang jujur dan berani.
Karya-karyanya mengalir tanpa batasan medium. Ia mencoret spontan, melukis dengan intens, menulis teks sebagai ritme, membuat gambar-gambar yang bergerak antara repetisi, ledakan, dan meditasi. Prosesnya cair, bukan binal; ia bekerja dengan kelekatan energi yang jarang ditemukan pada usia belia. Ada karya yang Dom kerjakan sepenuhnya sendiri, ada pula yang ia bangun sebagai dialog, termasuk bersama RSB Studio dalam proses desain tertentu. Tesla RSB Studio kemudian hadir sebagai mitra yang menyediakan material dan cat—menjadi ruang yang membuatnya bisa bermain lebih jauh dengan warna. Namun selalu, garis terakhir tetap milik Dom; ia tahu kapan sebuah karya telah menemukan bentuknya.
Dalam setiap pameran, karya Dom seperti membuka pintu ke semesta yang terus berkembang. Semesta yang kadang riang, kadang murung, kadang liar, namun selalu jujur.
Jejak Pameran & Perjalanan Visual
2019
• MAIN – Festival Seni Rupa Anak Indonesia, Galeri Nasional Indonesia, Jakarta
• Ethnic and Culture, Balekambang, Surakarta
2023
• Hello – Pameran Tunggal, Tan Art Space, Semarang
• What’s On – Pameran Kelompok, Heira Coffee, Tegal
2024
• ARTJOG Motif – Ramalan, JNM Bloc, Yogyakarta
• AMOR 2, Weeskamer
2025
• It’s Me: My Universe – Pameran Tunggal, Jiwa Jawi, Yogyakarta (Juni 2025)
• ARTJOG Amalan, JNM Museum (Juni 2025)
• Jazirah, Maluku – Ambon (November 2025)
• What You Expect — Kolaborasi DOM x Tesla RSB Studio
Dom tumbuh seperti garis yang mencari jalannya sendiri—kadang cepat, kadang berputar, kadang terlihat seperti ingin kabur dari bingkai. Tetapi di situlah kejujurannya tinggal. Ia bukan sekadar “anak yang bisa melukis” atau “calon perupa”; ia adalah pembaca perasaan yang menulis dengan warna. Dalam usia yang masih belia, Dom telah belajar bahwa dunia tidak selalu bisa diterangkan dengan kata-kata—maka ia memilih gestur, ritme, dan komposisi sebagai bahasanya.
Ibunya pernah berkata, dengan suara yang lebih mirip doa daripada pernyataan,
“DOM anak tunggal. Biarkan DOM berdiri tanpa bayang-bayang orang tuanya. Apalagi kalau tahu bahwa bapaknya juga seorang perupa. Biarkan DOM mengalir dengan talenta dan dunia pilihannya.”
Dan memang begitu seharusnya: Dom dibiarkan tumbuh, mencari, kadang tersandung, lalu bangkit tanpa paksaan apa pun. Ia membangun dunianya sendiri—pelan, liar, jujur, dan terus mengembang. Dari tangan seorang anak, kita belajar bahwa seni tidak selalu dimulai dari kematangan; ia sering kali tumbuh dari keberanian untuk menjadi diri sendiri, bahkan sebelum seseorang tahu apa arti “diri sendiri” itu. (Christian Saputro)




