Oleh Benny N.A. Puspanegara
Pemerhati Kebijakan Hukum, Sosial, dan Publik
Sumaterapost.co | Lampung – “Way Kambas Bukan ‘Project Rahasia Nasional’: Hentikan Tradisi Kebijakan Gelap yang Menghancurkan Masa Depan Negeri Ini”
Saya membaca laporan JKEL mengenai dugaan alih kelola 70 persen zona pemanfaatan TNWK kepada pihak asing. Dan saya perlu menyampaikan ini secara gamblang, tanpa pemanis, tanpa basa-basi:
Kalau benar ruang konservasi dikelola sampai 70 persen oleh investor, itu bukan kebijakan itu keberanian yang kelewat batas, bahkan untuk standar keberanian orang yang sudah tidak malu.
Saya sudah lama mengamati pola-pola seperti ini, dan pola TNWK ini terlalu familiar:
• publik disingkirkan,
• transparansi dipereteli,
• proses dibungkam,
• lalu hasilnya dihidangkan seolah-olah “demi kemajuan bangsa”.
Begini ya, saya ingin menyampaikan dengan sangat lembut:
Jangan pakai alasan ‘kemajuan’ jika yang maju hanya investor, sementara lingkungan dan masyarakat justru mundur ke zaman purba.
1. “Konsultasi Publik” yang Lebih Mirip “Pertemuan Rahasia”
Saya sudah lihat banyak kejanggalan kebijakan, tapi kali ini luar biasa:
konsultasi publik yang tidak mengundang publik.
Itu seperti pesta ulang tahun yang hanya dihadiri kue, lilin, dan panitia.
Publik dikonfirmasi tidak hadir, padahal tidak diundang.
Acaranya di hotel pula.
Seolah-olah publik itu alergi masuk hotel.
Atau sengaja tidak dipanggil agar tidak mengganggu skrip yang sudah dipersiapkan?
Jangan salah masyarakat sekarang bukan tipe yang bisa dibodohi dengan undangan yang “hilang entah ke mana”.
Sekarang orang sudah bisa membaca tanda-tanda gelap, bahkan sebelum listriknya mati.
2. 70 Persen Zona Pemanfaatan:
Ini Bukan Kebijakan, Ini Kebobolan Besar
Izinkan saya mengatakannya dengan bahasa sederhana:
Way Kambas itu taman nasional, bukan taman investasi.
Bahkan di negara kapitalis paling agresif pun, ruang konservasi tidak digarap seperti membangun resort elit.
Tetapi di sini, seolah-olah ruang konservasi itu tanah kosong yang menunggu untuk dikavling dan ditempeli logo perusahaan.
Jika benar 70 persen dikuasai pihak luar, maka ini bukan “pemanfaatan”.
Ini privatisasi ruang hidup satwa, dibungkus kata-kata manis tentang “pengembangan kawasan”.
Pengembangan apa?
Ekologi atau eksekusi ruang?
3. Transparansi yang Mendadak Sakit Perut
Menutup dokumen kerja sama dan zonasi itu ibarat memasak sesuatu di dapur, tapi pintu dapurnya dikunci, ventilasinya ditutup, dan kokinya hanya tertawa-tawa jika ditanya.
Saya mau bertanya sedikit dengan sopan:
Apakah ada alasan logis mengapa dokumen publik ditutup rapat?
Atau alasannya justru terlalu logis, hingga publik tidak boleh tahu?
Negara seharusnya berdiri di atas prinsip akuntabilitas.
Bukan berdiri di balik tirai sambil berharap tidak ada yang melihat bayangannya.
4. Ekologi Tidak Bisa “Dinegosiasikan” di Meja Rapat
Gajah, badak, harimau mereka tidak peduli negosiasi.
Mereka tidak punya WhatsApp Grup untuk mengadukan jalur migrasi yang berubah jadi koridor investasi.
Ketika ruang jelajah mereka dicaplok, konflik pasti meledak.
Tetapi nanti ketika satwa masuk kampung, masyarakat lagi yang disalahkan.
Skema yang basi, tapi terus dipakai karena mudah menyalahkan yang tidak punya kuasa.
Ekologi bukan anak magang yang bisa disuruh menyesuaikan keadaan.
Ia punya hukum sendiri:
Hancurkan habitat, hancur pula sistemnya.
5. Hentikan Berpikir Bahwa Publik Itu Pengganggu
Ada pola lama di negeri ini:
Publik dianggap hambatan.
NGO dianggap cerewet.
Akademisi dianggap terlalu kritis.
Masyarakat lokal dianggap tidak ngerti apa-apa.
Padahal justru karena itulah, mereka semua harus dilibatkan.
Kalau konsultasi publik hanya mengundang orang-orang yang sudah pasti setuju, itu namanya bukan konsultasi.
Itu cuma naskah drama yang belum tamat, tapi semua aktornya sudah diberi tahu ending-nya.
Saya ingin menyampaikan sesuatu untuk para pejabat yang membaca ini dengan penuh kelembutan:
Jika Anda takut publik bicara, mungkin masalahnya bukan pada publik.
Mungkin masalahnya ada pada kebijakan Anda.
Saya Mendukung JKEL, Tanpa Keraguan Sedikit Pun
Langkah JKEL untuk menuntut audit independen dan pembukaan dokumen bukan hanya benar itu mutlak.
Kalau pemerintah tidak mau membuka dokumen, biarkan publik membuka suara.
Dan percayalah, publik jauh lebih keras kalau sudah merasa diabaikan.
Penutup:
Jika Kebijakan Ini Dibiarkan, Kita Tidak Hanya Kehilangan Way Kambas Kita Kehilangan Masa Depan
Saya tahu pernyataan ini mungkin membuat beberapa meja rapat bergetar.
Kalau perlu, biarlah goyang sekalian.
Karena memang ada yang keliru dari dasar prosesnya.
Saya ingin menutup dengan pesan singkat dan langsung:
Way Kambas bukan milik pejabat, bukan milik investor, bukan milik siapa pun.
Way Kambas milik bangsa.
Dan bangsa bukan Anda saja.
Kalau masih ada yang tidak setuju, saya sarankan:
coba lihat cermin, dan tanyakan apakah saya bekerja untuk negara atau untuk sesuatu yang lain?
Kalau cerminnya retak, itu bukan salah cermin. (Ndy).




