Semarang — Malam di Maxi Brain Hall, Sabtu lalu, seolah bergerak lebih pelan. Di ruang konser yang hening dan penuh harap, Oei Hong Djien—kolektor seni dan pendiri Museum OHD—melangkah ke panggung bukan sebagai penjaga ribuan karya rupa, melainkan sebagai seorang pemusik yang hendak berbicara lewat dawai biola. Konser bertajuk Echoes of Life pun menjelma ruang permenungan, tempat seni, pengalaman hidup, dan ingatan saling bersua.
Saat biola didekapkan di bahu, Oei Hong Djien memainkan nada demi nada dengan penghayatan yang tenang namun dalam. Bunyi yang mengalir tidak sekadar indah, melainkan terasa seperti catatan perjalanan batin—tentang waktu, kehilangan, dan kesetiaan pada seni yang selama puluhan tahun ia rawat dengan sabar. Musik malam itu seakan membaca ulang kehidupan, bukan dengan kata, melainkan dengan getar yang menyentuh.
Konser Echoes of Life mengusung tema gema kehidupan: pengalaman yang datang dan pergi, kesunyian yang berbicara, serta harapan yang terus menyala. Kehadiran Oei Hong Djien di atas panggung menegaskan bahwa seni tidak berhenti pada ruang pamer atau etalase museum. Seni adalah sesuatu yang dihidupi, dialami, dan dibagikan secara personal—bahkan ketika seorang kolektor memilih menjadi penutur kisahnya sendiri.
Dalam konser tersebut, Oei Hong Djien berkolaborasi dengan pianis Matheus Grady Harsiono, menghadirkan dialog musikal yang intim antara gesek dan tuts. Repertoar klasik yang dibawakan mempertebal suasana reflektif: Intermezzo dari Cavalleria Rusticana karya Pietro Mascagni mengalir lirih dan melankolis; Ständchen (Leise Flehen) karya Franz Schubert terdengar seperti bisikan doa; sementara Méditation dari Thaïs gubahan Jules Massenet menjelma perenungan panjang tentang cinta dan spiritualitas.
Sebagai pemilik Museum OHD di Magelang, Oei Hong Djien selama ini dikenal luas atas kontribusinya dalam pelestarian seni rupa Indonesia, terutama karya para maestro lintas generasi. Penampilannya sebagai pemain biola malam itu memperlihatkan wajah lain seorang kolektor—sosok yang memandang seni sebagai kesatuan utuh, melampaui batas medium dan disiplin.
Tepuk tangan panjang dari penonton menutup penampilannya, bukan sekadar sebagai bentuk apresiasi teknis, melainkan penghormatan atas ketulusan dan keberanian berbagi ruang ekspresi. Di Maxi Brain Hall, musik menjadi jembatan sunyi antara panggung dan kursi penonton, antara pengalaman pribadi dan ingatan kolektif.
Malam itu, melalui Echoes of Life, biola Oei Hong Djien tidak hanya berbunyi. Ia bergema pelan namun dalam—seperti kehidupan itu sendiri, yang selalu menyisakan jejak bagi siapa pun yang mau mendengarkan. (Christian Saputro)




