Oleh Christian Heru Cahyo Saputro
Jurnalis pemerhati seni, tinggal di Semarang
Gerimis turun pelan di Kota Semarang sore itu, seolah menguji kesetiaan. Jalan Rinjani basah, udara Desember menggigilkan kenangan. Namun langkah-langkah tetap berdatangan menuju satu alamat yang menjanjikan kehangatan lain: Maxi Brain Hall—tempat musik akan menyalakan cahaya dari dalam. Pada 14 Desember 2025, konser “Echoes of Life: Holiday Edition” persembahan Maxi Brain Academy menjelma perayaan yang hening sekaligus hangat, sebuah doa akhir tahun yang dilantunkan melalui nada.
Di dalam hall, hujan tertinggal di luar. Waktu melambat. Atmosfer Natal meruap lembut—bukan lewat gemerlap berlebihan, melainkan bunyi-bunyi yang mengajak pulang: pulang ke ingatan, ke kasih, ke rasa syukur. Penonton hadir lintas generasi—anak-anak pelajar dengan mata berbinar, orang dewasa dengan riwayat panjang bersama musik, hingga para kolektor yang mencintai seni sebagai cara hidup. Malam itu, musik menjadi bahasa bersama.
Sebelum nada pertama dilahirkan, Mateus Grady Harsono menyapa dengan kata-kata yang teduh. Ia tidak menyebut konser sebagai pertunjukan semata, melainkan wahana berbagi kisah tentang kasih dan keberagaman—ruang tempat perbedaan duduk berdampingan, dipersatukan oleh getar yang sama. Kata-kata itu menjadi kunci, membuka pintu menuju perjalanan musikal yang bukan hanya indah, tetapi bermakna.
Pembuka datang dari Laniakea bersama Harmony Choir. “Away in a Manger” mengalun seperti pelukan, disusul “Angel” yang bening, dan “Golden” dalam versi instrumental—cahaya yang tak menyilaukan, namun menetap. Natal hadir bukan sebagai hiasan, melainkan rasa.
Dari Kudus, Kalevi A. W. membuat piano berbicara riang lewat “Carol of the Bells” dan “Jolly Old St. Nicholas”, menyemai keriangan yang berkilau. Kontras kemudian menyapa: Ariel Avilla dengan gitar solo “Theme from Mission Impossible”, memompa adrenalin dan membuktikan bahwa kehangatan tak selalu harus lirih.
Eksplorasi berlanjut ketika Grady Harsono menyusuri Suite Bergamasque karya Debussy—Prelude dan Passepied—mengajak pendengar menari di antara bayang dan cahaya. Laniakea String Trio menghadirkan “Eine kleine Nacht Christmas”, sejenak mengubah malam menjadi pesta kecil yang elegan. Piano Trio Vikar, Lita, dan Grady melangkah santai lewat “Stroll” dari My Neighbor Totoro, menghadirkan nostalgia yang manis. Menjelang puncak, Grady membaca suasana, memilih antara Chopin Polonaise in A-flat Major atau Rachmaninoff Prelude in F Major—musik yang peka pada denyut ruang. Finale ditutup oleh Piano Trio Vikar, Krishna, dan Grady dengan Haydn Trio No. 39 in G Major, berkilau dan penuh senyum.
Namun malam itu menyimpan kejutan yang menjadikannya perenungan. Oei Hong Djien—kolektor seni sekaligus pendiri Museum OHD—melangkah ke panggung dengan biola. Berkolaborasi dengan Matheus Grady Harsono, ia menghadirkan dialog sunyi antara gesek dan tuts. Intermezzo dari Cavalleria Rusticana mengalir lirih; Ständchen (Leise Flehen) karya Schubert berbisik seperti doa; dan Méditation dari Thaïs karya Massenet memanjang, hening, dan dalam. Bukan teknik yang ditonjolkan, melainkan pengalaman—musik sebagai catatan hidup yang dibaca ulang.
Tepuk tangan mengalir lama. Bukan sekadar apresiasi, melainkan penghormatan atas ketulusan. Di Echoes of Life: Holiday Edition, musik membuktikan dirinya sebagai rumah: tempat kita berhenti sejenak, mendengar, lalu melangkah lagi dengan hati yang lebih hangat. Gerimis mungkin turun di luar, tetapi di dalam hall, Desember menemukan nyalanya.
Pemilik Maxi Brain Academy sekaligus penggagas konser Echoes of Life, Pauline Wonoadi, menyampaikan bahwa konser ini lahir dari keyakinan bahwa musik memiliki fungsi yang lebih dalam dari sekadar hiburan.
“Musik bukan hanya tentang bunyi yang indah, tetapi tentang ruang untuk mendengar diri sendiri. Di tengah kehidupan yang bergerak cepat, musik memberi kita jeda—untuk bernapas, mengingat, dan merayakan perjalanan hidup,” ujarnya.
Menurut Pauline, edisi Holiday dirancang sebagai momen reflektif di penghujung tahun. “Ini bukan sekadar perayaan liburan, tetapi ruang untuk bersyukur atas proses, perjumpaan, dan pembelajaran sepanjang tahun. Setiap komposisi adalah gema dari rasa, harapan, dan kehidupan itu sendiri,” tambahnya.
Pemilihan Maxi Brain Academy Hall dinilai tepat berkat kualitas akustik dan atmosfer ruang yang mendukung format pertunjukan intim. Antusiasme penonton terasa sejak awal hingga akhir.
Konser “Echoes of Life: Holiday Edition” pun menjadi salah satu alternatif perayaan akhir tahun di Kota Semarang—menghadirkan musik sebagai bahasa universal yang merawat ingatan, rasa syukur, dan harapan akan hari esok. (*)




