Oleh Handoyo Salafi, Perupa tinggal di Semarang.
Bangunan tua kerap dianggap sekadar sisa masa lalu—diam, usang, dan tak lagi relevan. Padahal, di balik dinding-dinding tebal dan jendela tinggi bangunan bersejarah, tersimpan ingatan kolektif bangsa. Salah satunya berdiri tegak di jantung Kota Semarang: SMP Negeri 2 Semarang, bekas sekolah MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs), yang telah melampaui usia satu abad.
Di sinilah MULO Festival hadir, bukan sekadar sebagai perayaan, tetapi sebagai strategi kebudayaan. Sebuah ikhtiar kreatif dan partisipatif yang digagas ALSPERO Indonesia untuk merawat heritage pendidikan—bukan hanya secara fisik, tetapi juga secara makna.
Jika ditarik ke awal 1920-an, MULO merupakan bagian dari sistem pendidikan kolonial Hindia Belanda. Ia lahir dalam tata kota yang segregatif, memisahkan ruang hidup Eropa, Tionghoa, dan pribumi. Sekolah-sekolah seperti ELS, HIS, MULO, dan HBS awalnya dirancang untuk melayani kepentingan kolonial dan kalangan elite terbatas. Namun sejarah sering bergerak melampaui niat awalnya.
Justru dari ruang-ruang kelas itulah tumbuh generasi terpelajar pribumi—mereka yang belajar berpikir kritis, membaca dunia, dan pada akhirnya mempertanyakan penjajahan. MULO menjadi salah satu mata rantai penting yang menghubungkan pendidikan kolonial dengan kesadaran nasionalisme. Dari institusi yang dirancang untuk administrasi kolonial, lahir benih intelektual yang kelak ikut menggerakkan sejarah kemerdekaan.
Karena itu, SMP Negeri 2 Semarang bukan semata bangunan tua. Ia adalah saksi hidup perjalanan pendidikan modern Indonesia. Usianya yang lebih dari 105 tahun menjadikannya aset sejarah yang tak ternilai—layak mendapat perlindungan hukum, perawatan berkelanjutan, dan pengakuan publik sebagai cagar budaya pendidikan.
Namun kita tahu, heritage tidak runtuh hanya karena usia. Ia lebih sering hilang karena abai. Alih fungsi yang tak sensitif, renovasi yang menghapus jejak arsitektur asli, atau kebijakan yang menempatkan nilai ekonomi di atas nilai sejarah—semua itu adalah ancaman nyata.
Di sinilah MULO Festival memainkan peran penting. Festival ini menjadi ruang temu antara sejarah dan generasi kini. Melalui pameran, tur heritage, diskusi, pertunjukan budaya, dan kajian lintas disiplin, MULO Festival membangun kesadaran sejarah (historical awareness) sekaligus rasa memiliki (sense of belonging). Konservasi tidak lagi terasa sebagai urusan segelintir ahli, melainkan tanggung jawab bersama.
Lebih jauh, festival ini membuka jejaring kolaborasi—menghubungkan alumni, pemerintah, komunitas heritage, akademisi, hingga sektor swasta. Pendekatan ini menegaskan bahwa pelestarian bangunan bersejarah membutuhkan strategi lintas sektor: konservasi fisik yang berprinsip cagar budaya, perawatan berkelanjutan, dan partisipasi publik yang aktif.
Yang tak kalah penting, MULO Festival menunjukkan bahwa pelestarian heritage tidak harus mematikan fungsi utama bangunan. SMP Negeri 2 Semarang tetaplah institusi pendidikan yang hidup—tempat belajar generasi hari ini—sekaligus bagian dari narasi besar sejarah kolonial Semarang dan perjalanan bangsa Indonesia.
Merawat heritage pendidikan berarti merawat ingatan bangsa. Ia mengingatkan kita bahwa kemerdekaan tidak lahir tiba-tiba, melainkan tumbuh dari ruang-ruang belajar, dari buku-buku, diskusi, dan keberanian berpikir. Pendidikan adalah salah satu kunci utama perjuangan bangsa—dan jejaknya masih berdiri di hadapan kita.
MULO Festival adalah ajakan: agar kita tidak sekadar mewarisi bangunan, tetapi juga menjaga maknanya. Sebab bangsa yang kehilangan ingatan, mudah kehilangan arah. Dan heritage, ketika dirawat bersama, akan selalu menemukan relevansinya—lintas zaman, lintas generasi. (*)




