Semarang — Upaya melestarikan wayang sebagai warisan budaya bangsa terus mendapat ruang hidup melalui generasi muda. Hal itu tampak dalam perhelatan “Wayang Anak Bangsa”, sebuah rangkaian pementasan dan pameran budaya yang digelar Sanggar Monod Laras dalam rangka 7 tahun kiprah sanggar, sekaligus memperingati Hari Anak Internasional, Hari Wayang Sedunia, dan Hari Gamelan Sedunia.
Acara yang berlangsung selama tiga hari, 20–22 Desember 2025, ini dipusatkan di Gedung Monod Dipheuis, Jalan Kepodang No. 11–13, kawasan Kota Lama Semarang, dan terbuka untuk masyarakat umum sejak pukul 09.00 WIB hingga selesai.
Sebanyak 40 dalang cilik dari Sanggar Monod Laras tampil bergantian membawakan lakon-lakon wayang dengan gaya tutur khas anak, namun tetap berpijak pada pakem tradisi. Pementasan ini menjadi penanda bahwa wayang bukan sekadar artefak masa lalu, melainkan bahasa budaya yang terus tumbuh bersama zamannya.
Selain pementasan, pengunjung juga disuguhi pameran wayang kulit yang digelar di lantai 1 dan 2 gedung, serta workshop wayang kulit sebagai ruang edukasi dan interaksi bagi anak-anak maupun keluarga.
Pembukaan acara pada Sabtu (20/12) diawali dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya, sambutan panitia dan Ketua Sanggar Monod Laras, serta perwakilan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata. Prosesi pemotongan tumpeng menjadi simbol rasa syukur atas perjalanan sanggar, diiringi tembang Pocung ciptaan Bu Amik.
Sejumlah siswa berprestasi Monod Laras yang pernah menjuarai berbagai festival dalang anak turut diperkenalkan kepada publik, sebelum pementasan perdana dibawakan oleh dalang cilik Saras. Pementasan berlanjut hingga sore hari dengan penampilan bertahap dalang ke-1 hingga ke-40.
Pada hari kedua, Minggu (21/12), agenda dilanjutkan dengan penampilan wayang series siswa kelas 2 serta dalang-dalang muda lainnya. Sementara hari ketiga, Senin (22/12), diisi pementasan dalang tentatif hingga penutupan pameran wayang kulit pada sore hari.
Ketua Sanggar Monod Laras Tjahjono Rahardjo menyampaikan bahwa kegiatan ini menjadi wujud “satu cita melestarikan budaya”, dengan menempatkan anak sebagai subjek utama pewarisan tradisi. “Wayang akan terus hidup jika anak-anak diberi ruang untuk bermain, belajar, dan berekspresi,” ujarnya.
Melalui “Wayang Anak Bangsa”, lanjutnya Monod Laras tidak hanya merayakan ulang tahun sanggar, tetapi juga menegaskan Kota Lama Semarang sebagai ruang temu antara sejarah, pendidikan budaya, dan masa depan kesenian tradisi. (Christian Saputro)




