Oleh: Christian Heru Cahyo Saputro
Bandar Lampung — Seni rupa kembali mengambil peran sebagai suara kemanusiaan. Pameran Lukisan bertajuk “Dialog untuk Sumatera” resmi dibuka di Gedung Pamer Taman Budaya Lampung, Senin (22/12), menjadi ruang ekspresi sekaligus kepedulian para perupa terhadap bencana alam yang melanda berbagai wilayah di Sumatera.
Pembukaan pameran dilakukan oleh Hj. Syafariah Widianti, S.H., M.H., yang akrab disapa Atu Ayi. Acara ini dihadiri perwakilan Polda Lampung, Kapolresta Bandar Lampung, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Lampung yang diwakili Kepala Bidang Kebudayaan, Kepala Taman Budaya Lampung, serta perwakilan Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Daerah Provinsi Lampung.
Pameran “Dialog untuk Sumatera” tidak hanya menampilkan karya seni rupa, tetapi juga menghadirkan ragam ekspresi lintas disiplin. Suasana pembukaan diperkaya dengan pembacaan puisi oleh sastrawan Edy Samudra Kertagama melalui dua karyanya berjudul “Tangisan Baiduri” dan “Padamu Negeri: Bencana Tiga Kota”, yang menyuarakan luka, duka, dan harapan masyarakat di tengah bencana. Atmosfer keprihatinan semakin terasa lewat pertunjukan performance art “Luluh Lantak” karya perupa David.
Ketua pelaksana sekaligus kurator pameran, David, menjelaskan bahwa performance art tersebut merupakan refleksi atas penderitaan korban bencana di Sumatera. Melalui tubuh dan gerak, ia menarasikan jatuhnya korban, minimnya kepedulian, hingga ketegaran masyarakat yang kerap menghadapi bencana tanpa sorotan nasional.
“Sumatera seolah tidak pernah kehabisan cerita. Meski banyak bencana tidak tercatat sebagai bencana nasional, masyarakatnya tetap berdiri tegar, menahan lapar dan penderitaan dengan hati yang bergetar,” ujar David.
Sementara itu, Hj. Syafariah Widianti mengapresiasi penyelenggaraan pameran tersebut. Menurutnya, “Dialog untuk Sumatera” bukan sekadar ajang pertemuan seni, melainkan gerakan kemanusiaan yang memiliki dampak sosial nyata.
“Pameran ini adalah bentuk kepedulian para seniman untuk membantu dan meringankan beban saudara-saudara kita yang terdampak bencana. Para perupa menyatukan imajinasi dan gagasan, menghadirkan visual yang tidak hanya merekam keindahan budaya, tetapi juga keprihatinan kemanusiaan,” tuturnya.
Senada, sesepuh seni rupa Lampung Pulung Swandaru menyatakan bahwa pameran ini merupakan wujud empati perupa Lampung terhadap bencana yang terjadi di berbagai wilayah Sumatera, seperti Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat.
“Melalui pameran ini, kami para perupa Lampung ikut ambil bagian dalam penggalangan donasi sebagai bentuk solidaritas dan kepedulian,” kata Pulung.
Melalui “Dialog untuk Sumatera”, penyelenggara berharap masyarakat, kolektor, dan pecinta seni dapat merasakan kedalaman pesan karya-karya yang dipamerkan. Lebih dari sekadar apresiasi seni rupa, pameran ini menjadi penghormatan terhadap proses berkesenian sekaligus ikhtiar nyata para perupa untuk berkontribusi bagi kemanusiaan melalui penggalangan donasi bagi korban bencana di Sumatera. (Christian Saputro)




