Oleh Aprillia Rizki, praktisi pendidikan tinggal di Bandar Lampung
DALAM peta sastra Lampung modern, Isbedy Stiawan ZS dan Udo Z Karzi menempati dua jalur estetik yang berbeda namun sama-sama menentukan. Keduanya tidak hanya menulis dari Lampung, tetapi memikirkan Lampung dengan strategi bahasa, subjek, dan sikap kultural yang berlainan. Perbedaan ini tampak jelas ketika karya-karya mereka dibaca melalui contoh teks dan konteks sosial-estetisnya.
Bahasa dan Lirisisme: Kesenyapan Isbedy
Puisi-puisi Isbedy Stiawan ZS bergerak dalam wilayah lirisisme reflektif. Bahasa tidak diarahkan untuk menyampaikan pesan sosial secara langsung, melainkan untuk membangun ruang batin yang sunyi dan kontemplatif. Dalam sejumlah puisinya baik yang terang-terangan berbicara tentang kampung halaman maupun yang sepenuhnya metaforis-alam sering hadir sebagai medium perenungan eksistensial, bukan sebagai latar realistik.”
Kecenderungan ini menempatkan Isbedy dalam tradisi puisi Indonesia modern yang mengedepankan kedalaman rasa dan keheningan makna, sejajar dengan garis lirik pasca-1960-an. Lokalitas Lampung tidak tampil sebagai penanda identitas kultural yang eksplisit, melainkan sebagai lanskap batin yang telah mengalami sublimasi estetis.
Bahasa dan Satir: Kritik Sosial Udo Z Karzi
Berbeda dari Isbedy, Udo Z Karzi menggunakan bahasa sebagai alat pembongkar realitas sosial, Dalam puisi, cerpen, maupun teks-teks satirnya, bahasa tampil lugas, bercampur humor, ironi, dan sindiran langsung. Tokoh-tokoh seperti Mamak Kenut berfungsi sebagai medium kritik terhadap relasi kuasa, kemunafikan sosial, dan absurditas modernitas di ruang lokal Lampung.
Udo dengan sadar menurunkan bahasa sastra ke wilayah tutur sehari-hari, bahkan mendekati bahasa lisan. Strategi ini mengingatkan pada tradisi satir dan realisme kritis dalam sastra Indonesia, di mana kelucuan tidak pernah netral, melainkan sarat
Bandingkan pemetaan sastra Lampung dalam sejumlah esai Dewan Kesenian Lampung (DKL) sejak
2000-an Isbedy Stiawan ZS, Puisi-puisi Pilihan (berbagai periode).
Lihat pembacaan lirisisme dalam puisi Indonesia modern oleh Sapardi Djoko Damono.
Udo Z. Karzi, Mamak Kenut: Orang Lampung Punya Celoteh (Indepth Publishing, 2012).
muatan ideologis. Lokalitas dalam teks Udo bersifat konkret: bernama, berala…… dan terikat pada situasi sosial tertentu.
Subjek Kepengarangan: Aku vs Kolektif
Subjek dalam puisi Isbedy cenderung anonim dan universal. “Aku” dalam puisinya adalah subjek batin yang rapuh, tidak terikat kelas sosial atau peran tertentu. Hal ini
muatan ideologis. Lokalitas dalam teks Udo bersifat konkret: bernama, beralamat, dan terikat pada situasi sosial tertentu.
Subjek Kepengarangan: Aku vs Kolektif
Subjek dalam puisi Isbedy cenderung anonim dan universal. “Aku” dalam puisinya adalah subjek batin yang rapuh, tidak terikat kelas sosial atau peran tertentu. Hal ini memungkinkan puisinya dibaca lintas konteks geografis dan kultural.
Sebaliknya, Udo menciptakan subjek kolektif. Tokoh-tokoh dalam karyanya mewakili suara komunitas, terutama masyarakat pinggiran. Dalam hal ini, sastra Udo bergerak dari ruang estetis ke ruang sosial, bahkan politik. Sastra tidak lagi hanya menjadi sarana refleksi, tetapi juga alat intervensi wacana.
Tradisi dan Modernitas
Isbedy memperlakukan tradisi sebagai ruang ingatan dan meditasi. la tidak secara eksplisit menggugat modernitas, tetapi menyingkap dampak psikologis dan eksistensialnya melalui suasana sunyi dan melankolis.”
Udo, sebaliknya, menempatkan tradisi dan modernitas dalam konflik terbuka. Modernitas hadir sebagai ironi pembangunan, bahasa kekuasaan, dan perubahan sosial yang timpang. Namun Udo juga tidak memutihkan tradisi; adat dan nilai lokal tetap menjadi sasaran kritik ketika berubah menjadi dogma atau topeng moral.”
Posisi dalam Sastra Lampung dan Indonesia
Isbedy Stiawan ZS dapat diposisikan sebagai penyair yang menjaga martabat estetik lirisisme dalam sastra Lampung, membuktikan bahwa sastra daerah mampu hadir dengan kedalaman bahasa dan kesadaran artistik tinggi.
Udo Z Karzi, di sisi lain, berperan sebagai agen disrupsi estetik dan sosial, la memperluas fungsi sastra Lampung sebagai ruang kritik budaya dan sosial, sekaligus mendekatkannya pada pembaca luas tanpa kehilangan ketajaman intelektual,”
Dengan demikian, Isbedy Stiawan ZS dan Udo Z Karzi bukan dua kutub yang saling meniadakan, melainkan dua strategi estetik yang saling mengisi. Isbedy mengajak pembaca menunduk ke dalam kesunyian batin, sementara Udo memaksa pembaca menatap realitas sosial dengan mata terbuka. Di antara keduanya, sastra Lampung menemukan spektrum estetiknya yang paling hidup dan produktif.(*)




