Semarang — Sejarah Kali Kuping (Kalikuping), salah satu kawasan tua di Kota Semarang, kembali dibaca dari sudut pandang kritis melalui Dialog Budaya bertajuk Sejarah Gelap–Terang Kali Kuping yang digelar di Rumah Pohan, Kota Lama Semarang, belum lama ini.
Peneliti dan penulis sejarah urban Yvonne Sibeua menegaskan bahwa Kali Kuping tidak dapat dipahami semata sebagai kawasan bermasalah sebagaimana kerap digambarkan dalam arsip kolonial.
Sejak akhir abad ke-19, kawasan ini justru menjadi ruang sosial yang kompleks, tempat bertemunya aktivitas ekonomi, dinamika sosial, dan praktik bertahan hidup masyarakat kota pelabuhan.
“Dalam surat kabar kolonial seperti De Locomotief dan Algemeen Handelsblad, Kali Kuping sering direduksi sebagai wilayah bau, kotor, dan sarang kejahatan. Arsip ini penting, tetapi harus dibaca dengan kesadaran konteks kuasa,” ujar Yvonne.
Ia memaparkan sejumlah catatan arsip, antara lain laporan tahun 1874 terkait industri terasi dan ikan asin, pemberitaan penyelundupan opium pada akhir abad ke-19, serta kebakaran besar gudang korek api Jepang pada 1911. Menurutnya, peristiwa tersebut kerap digunakan untuk membangun stigma kawasan tanpa melihat realitas sosial-ekonomi warganya.
Yvonne juga menyinggung catatan perencana kota kolonial Ir. Dr. W.B. Peteri (1925) yang menggambarkan Kalikuping sebagai kawasan tidak teratur. Deskripsi tersebut, menurutnya, mencerminkan cara pandang modernisme kolonial yang mengabaikan sisi kemanusiaan kota.
Sementara itu,
Koordinator Program Studi S2 Kajian Sejarah di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Negeri Semarang (UNNES), menekankan pentingnya dialog sejarah sebagai pijakan membaca masa depan kota.
“Sejarah bukan hanya cerita masa lalu, tetapi fondasi penting untuk memproyeksikan ke mana Semarang akan kita bawa,” katanya.
Dialog budaya ini juga menjadi bagian dari pembelajaran berbasis proyek mahasiswa Ilmu Sejarah UNNES melalui produksi film dokumenter sejarah. Pengelola Rumah Pohan menyatakan kegiatan ini bertujuan menghadirkan ruang diskusi kritis agar kawasan lama Semarang dipahami sebagai ruang hidup dengan sejarah sosial yang kompleks. (Christian Saputro)




