Bandar Lampung — Kabar mengejutkan datang dari Yayasan Kebudayaan Rancage. Hingga batas akhir penerimaan buku pada 30 November 2025 (cap pos), tak satu pun buku sastra berbahasa Lampung tercatat masuk sebagai bahan pertimbangan Hadiah Sastra Rancage 2026. Padahal, secara nasional Rancage menerima 55 judul buku sastra daerah, dengan dominasi sastra Jawa, Sunda, dan Bali.
Fakta ini memantik keprihatinan mendalam dari sastrawan Lampung Udo Z Karzi, penerima Hadiah Sastra Rancage 2025 untuk buku cerpen Minan Lela Sebambangan (2024). Melalui tulisannya di laman Labrak.co, Udo menyebut kebanggaannya sebagai penerima Rancage justru “hancur luluh” ketika mengetahui bahwa sastra Lampung kembali absen dari daftar penilaian.
“Yang perlu digarisbawahi adalah tidak ada karya sastra Lampung yang terbit sepanjang 2025. Artinya, Rancage 2026 kembali lepas dari sastrawan Lampung,” tulis Udo, mengutip data resmi Yayasan Kebudayaan Rancage yang dirilis 15 Desember 2025.
Secara teknis, absennya sastra Lampung berarti tidak terpenuhinya syarat minimal tiga karya dari tiga penulis berbeda untuk dapat dinilai. Situasi ini mengulang kegelisahan lama yang pernah disuarakan almarhum Irfan Anshory, juri pertama Rancage Lampung. “Malu kita!”—ujar Irfan kala itu—kini kembali menggema.
Ironisnya, kondisi ini terjadi di tengah maraknya aktivitas kebahasaan dan kesusastraan Lampung: lomba cipta dan baca puisi, workshop penulisan cerpen, diskusi bahasa, hingga berbagai agenda kebudayaan yang mengusung kearifan lokal. Namun, geliat itu belum berujung pada keberanian menerbitkan karya dalam bentuk buku.
Udo mengaku telah berupaya membujuk sejumlah sastrawan Lampung agar mengirimkan naskah berbahasa Lampung untuk diterbitkan. Namun hingga tenggat berakhir, tak satu pun naskah masuk.
Karena itu, ia memilih menghentikan perdebatan panjang yang tak kunjung produktif dan mengajukan seruan terbuka.
“Dicari: Naskah Sastra Lampung!” tulis Udo. Sebuah permohonan sekaligus ajakan agar ada yang tergerak menulis puisi, cerpen, novel, atau bentuk sastra lain berbahasa Lampung. Bukan semata demi penghargaan, melainkan demi keberlanjutan bahasa, sastra, dan martabat budaya Lampung itu sendiri.
Yayasan Kebudayaan Rancage sebelumnya juga menegaskan keterbatasannya dalam menjangkau seluruh penulis daerah, seraya berharap para penulis dan penerbit berperan aktif mengirimkan karya. Tanpa itu, bahasa daerah berisiko hanya hidup di panggung seremoni, tetapi absen dalam arsip sastra.
Di tengah situasi ini, seruan Udo Z Karzi menjadi pengingat keras: sastra daerah tak cukup dirayakan, ia harus ditulis, diterbitkan, dan diwariskan. Jika tidak, sunyi di meja juri bisa menjadi pertanda sunyi yang lebih panjang dalam sejarah kebudayaan Lampung. (Christian Saputro)




